Kuliahalislam.Mukmin Jawi adalah orang-orang Islam yang berasal dari Asia Tenggara ( Indonesia, Malaysia, Pattani ( sekarang Thailand Selatan), Filipina, Singapura dan Brunei Darussalam) yang menetap di Mekah dan Madinah. Komposisi penduduk Mekah sejak abad ke-17 selain penduduk asli adalah pedagang seperti Turki, Afrika, Yaman, Asia Tenggara dan lain-lain.
Sulit menentukan sejak kapan orang Islam asal Asia Tenggara mulai bermukim di dua kota suci Islam tersebut. Namun berdasarkan catatan Lodovico de Varthema, pengembara asal Bologna, Italia yang menyamar sebagai seorang muslim dan berhasil masuk ke Mekah pada tahun 1502, Pada abad ke-16 sudah terdapat Mukmin Jawi di Mekah.
Menurutnya kehadiran orang Melayu di Mekah, selain untuk menunaikan ibadah Haji untuk berdagang kecil-kecilan. Jumlah Mukmin Jawi meningkat secara berarti setelah lancarnya hubungan laut antara Nusantara ( Asia Tenggara) dan Timur Tengah yaitu ketika mulai digunakannya Kapal Api pada abad ke-18 dan ke-19.
Para Mukmin Jawi di Mekah dan Madinah dilihat dari Lakab ( gelar di ujung nama) mereka, berasal dari hampir seluruh kelompok etnik di Nusantara, misalnya as-Singkil (Singkel), dan al-Asi (Aceh), al-Minangkabawi (Minangkabau) dan al-Padani (Padang), al-Mandili (Mandaliling), al-Bantani (Banten) dan al-Garuti (Garut), al-Batawi (Betawi), at-Termasi (Termas, Jawa Timur), al-Kadiri (Kediri, Jawa Timur), al-Banyumasi (Banyumas, Jawa Tengah), al-Banjari (Banjar, Kalimantan Selatan), al-Bawiyani (Bawean, Madura), al-Maqassari (Makassar), dan al-Bugisi (Bugis), dan lain-lainnya.
Komposisi demografis para Mukmin Jawi bisa dijadikan indikasi perkembangan Islam di dalam setiap kelompok etnik bersangkutan. Pada paruh kedua abad ke-19, kelompok etnik Jawa termasuk yang paling dominan diantara kelompok-kelompok etnik di Nusantara. Hampir seluruh Pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur baik langsung maupun tidak berhubungan dengan ulama Jawi yang memperoleh pendidikan di Mekah dan Madinah.
Menurut Christian Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang berhasil menyusup ke Mekah dengan nama Abdul Gaffar, Mukmin Jawi di Mekah pada akhir abad ke-19 biasanya membentuk koloni-koloni tersendiri berdasarkan asal daerah, misalnya koloni Lampung. Wilayah Jabal Abu Qubais yang letaknya dekat Masjidil Haram secara tradisional dikenal sebagai tempat konsentrasi utama Mukmin Jawi.
Para Mukmin Jawi di Mekah dikenal sebagai orang yang tawaduk, taqwa dan dapat dipercaya. Secara ekonomi mereka berbeda dengan para mukmin yang berasal dari negeri lainnya. Mereka termasuk orang kaya karena mereka menerima kiriman secara rutin dari negeri asal masing-masing untuk biaya hidup selama bermukim di tanah Arab.
Hanya sedikit sekali Mukmin Jawi yang tergolong miskin. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, mereka biasanya bekerja sebagai pembantu, terutama di rumah-rumah orang yang negerinya dan menjadi petugas Haji ketika musim Haji tiba. Setiap negeri di Asia Tenggara biasanya mempunyai Syekh Haji sendiri yang berasal dari daerahnya. Dari hasil bekerja pada musim haji, mereka memperoleh nafkah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk setahun berikutnya.
Beberapa diantaranya juga melakukan haji Badal atas permintaan para haji yang datang dengan imbalan tertentu. Sebagian kecil Mukmin Jawi yang telah lama menuntut ilmu di Mekah dan Madinah, menjadi ulama besar di Mekah dan terutama di negeri asalnya. Mereka ini kemudian dikenal dengan julukan ulama Jawi.
Yang tidak berhasil menjadi ulama besar tetap dipandang sebagai orang yang berilmu di negeri asalnya. Oleh karena itu, sebagaimana para ulama Jawi lainnya, mereka juga bertindak menjadi guru agama dan pemimpin terekat di masing-masing daerahnya. Adapun mereka yang tidwk berhasil menuntut ilmu keislaman, ketika kembali ke daerahnya, biasanya menjadi pedagang.
Ketika gerakan Pan Islamisme berkembang sekitar abad ke-19, gerakan ini berpengaruh cukup besar di kalangan Mukmin Jawi. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda di Indonesia mengontrol dengan ketat jamaah haji yang pulang dari Mekah terutama para haji yang pernah bermukim di Mekah. Dikhawatirkan gagasan gerakan itu dapat membangkitkan gelombang perlawanan terhadap penjajah.
Para Haji biasanya berhubungan dengan para Mukmin di Mekah ketika mereka menunaikan ibadah haji, sehingga dalam pandangan pihak Belanda, naik haji dapat berfungsi sebagai sarana yang mengalirkan intensitas kehidupan muslim dari Mekah ke Indonesia. Kalau pada masa lampau orang Islam asal Asia Tenggara datang ke Mekah dan Madinah untuk tujuan menuntut ilmu, maka sejak abad ke-20, motivasi mereka berubah terutama setelah Arab Saudi mengalami kemajuan ekonomi dari hasil ekspor minyak bumi.
Kebanyakan motivasi mereka adalah untuk mencari nafkah. Hanya sedikit orang saja yang bermukim di Mekah dengan tujuan khusus menuntut ilmu apalagi untuk belajar di banyak Halaqah yang diselenggarakan di Masjidil Haram. Sebab lainnya adalah karena pemerintah Arab Saudi hanya mengeluarkan visa untuk belajar di perguruan tinggi negeri saja, itu pun hanya kepada mereka yang mendapatkan beasiswa pemerintah setempat.
Selain itu, kemajuan ekonomi juga telah mendorong pemerintah Arab Saudi untuk giat meningkatkan fasilitas fisik yang berkaitan dengan ibadah haji. Perluasan besar-besaran dilakukan terhadap Masjidil Haram. Untuk keperluan ini, banyak bangunan di sekitarnya termasuk diantaranya bangunan yang dipandang pernah berjasa mengembangkan keilmuan Mukmin Jawi digusur.

