Bagi beberapa anak muda di Indonesia saat ini termasuk Generasi Z dan Generasi Alpha, nama Ibnu Khaldun mungkin pernah mereka dengar, tetapi tidak banyak yang benar-benar memahami siapa tokoh Islam ini dan betapa luas pengaruh pemikirannya.
Padahal, Ibnu Khaldun adalah salah satu intelektual besar dalam sejarah Islam. Melalui karya monumentalnya, Muqaddimah, ia tidak hanya membuka babak baru dalam penulisan sejarah, tetapi juga diakui sebagai Bapak Sosiologi Islam karena berhasil merumuskan teori-teori sosial yang sangat maju pada masanya.
Konsep-konsep seperti asabiyyah (solidaritas kelompok), dinamika kekuasaan, serta siklus bangkit–puncak kejayaan–kemunduran peradaban menunjukkan kedalaman analisisnya terhadap masyarakat. Ia memadukan pemikiran rasional dengan tradisi intelektual Islam, sehingga menghasilkan pendekatan yang menyatukan ilmu sosial dan nilai-nilai peradaban.
Di tengah tantangan sosial, identitas, dan moralitas yang dihadapi umat Islam sekarang terutama generasi muda, pemikiran Ibnu Khaldun menurut saya sangat bisa menjadi cermin sekaligus inspirasi dalam memahami kondisi zaman dan membangun visi peradaban yang lebih baik.
Asabiyyah sebagai fondasi kebangkitan
Konsep asabiyyah merupakan kontribusi terbesar Ibnu Khaldun dalam bidang sosiologi. Dalam Muqaddimah, ia menjelaskan bahwa asabiyyah adalah satu bentuk solidaritas kelompok yang menjadi energi utama bagi munculnya kekuatan politik dan sosial.
Solidaritas ini paling kuat dalam masyarakat nomaden, di mana kehidupan yang keras menuntut sebuah persatuan dan ketergantungan satu sama lain. Persatuan tersebut membuat kelompok nomaden memiliki daya militer, moral, dan ketahanan sosial yang lebih kuat daripada masyarakat perkotaan yang cenderung nyaman dan individualistik.
Saya juga ingin mengutip beberapa keterangan ilmiah melalui beberapa artikel yang ada, misalnya dalam penelitian Siniša Malešević yang berjudul “Where Does Group Solidarity Come From? Gellner and Ibn Khaldun Revisited.” Dia menegaskan bahwa Ibnu Khaldun memahami asabiyyah sebagai loyalitas yang tumbuh dari kehidupan suku yang keras, sementara Gellner menghubungkan solidaritas dengan struktur ekonomi modern.
Menurut Gellner, nasionalisme menggantikan peran solidaritas kesukuan tradisional sebagai sumber legitimasi politik. Tetapi analisis Malešević menunjukkan bahwa solidaritas mikro tetap bertahan berdampingan dengan nasionalisme modern, sehingga membuktikan kedalaman pemikiran Ibnu Khaldun mengenai ikatan kelompok sebagai inti kekuatan sosial.
Dalam konteks umat Islam dewasa ini jika kita mengacu pada pikiran Ibnu Khaldun tentang asabiyyah yang dimaksud bukanlah fanatisme buta, melainkan solidaritas berbasis nilai.
Fragmentasi internal di dunia Islam baik dalam skala negara, organisasi, ataupun komunitas menunjukkan melemahnya ikatan ini. Padahal, kebangkitan peradaban hanya mungkin terjadi jika umat kembali membangun solidaritas moral dan intelektual sebagaimana digambarkan Ibnu Khaldun.
Siklus peradaban: membaca Rise-Peak-Decline dalam realitas kontemporer
Teori terkenal Ibnu Khaldun adalah konsep siklus peradaban: bangkit (rise), mencapai puncak kejayaan (peak), lalu mengalami kemunduran (decline). Dalam edisi The Muqaddimah terjemahan Franz Rosenthal, pada halaman 209 dalam Chapter 3: “On dynasties, royal authority, the caliphate, government ranks, and all that goes with these things”, Ibnu Khaldun menjelaskan secara rinci mekanisme perubahan sosial-politik tersebut.
Ia menunjukkan bagaimana dinasti atau kerajaan yang bermula dari kelompok kuat bersatu dalam asabiyyah akan memperoleh kekuasaan, menikmati kemakmuran, kemudian perlahan melemah karena kehilangan solidaritas dan integritas moral.
Pada halaman 225, Rosenthal menerjemahkan pernyataan penting Ibnu Khaldun: “Furthermore, luxury corrupts the character.” Kemewahan, menurutnya, adalah awal kehancuran peradaban. Ketika masyarakat terlalu nyaman, nilai-nilai perjuangan memudar, kepemimpinan melemah, dan orientasi hidup berubah menjadi konsumtif.
Kritiknya ini relevan bagi banyak negara Muslim sekarang, yang meski memiliki kekayaan sumber daya, sering terjebak dalam konsumtivisme, ketergantungan ekonomi, dan instabilitas politik.
Penjelasan Ibnu Khaldun tentang rise-peak-decline kemudian menjadi cermin bagi dunia Islam yang sedang mengalami krisis kepemimpinan, perpecahan internal, dan stagnasi intelektual. Namun, teori ini juga membawa harapan: setiap siklus kemunduran membuka peluang bagi lahirnya generasi baru dengan solidaritas kuat dan moralitas tinggi.
Dalam artikel ilmiah “The Ibar: Lessons of Ibn Khaldun’s Umran Mind” oleh Mahmoud Dhaouadi, ditegaskan juga bahwa pemikiran Ibnu Khaldun mewakili perspektif Aql-Naql yakni integrasi antara penalaran rasional dan logis dengan ilmu yang bersumber dari wahyu Allah SWT.
Ibnu Khaldun menolak pemisahan tegas antara agama dan pengetahuan sosial, suatu hal yang justru baru dipertanyakan dalam sains modern kontemporer. Dengan demikian, pemikirannya tidak hanya historis, tetapi juga filosofis dan epistemologis.
Etika kekuasaan dan ekonomi perspektif Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun tidak hanya memberi kontribusi dalam sosiologi, tetapi juga ekonomi dan politik. Dalam Muqaddimah, ia menjelaskan hubungan antara kekuasaan, perpajakan, dinamika kelas, dan pembangunan ekonomi serta gagasan yang dalam banyak hal mendahului teori ekonomi modern.
Bahkan Arthur Laffer, ekonom terkenal, mengaitkan pemikirannya dengan konsep kurva Laffer mengenai hubungan antara tingkat pajak dan pendapatan negara. Egon Orowan dan Bryan S. Turner juga menyoroti analisis sosial Ibnu Khaldun sebagai fondasi awal sosiologi modern.
Dalam bidang teori politik, Ibnu Khaldun menegaskan pentingnya keadilan sebagai pilar utama negara. Tanpa keadilan, kekuasaan hanya menjadi alat dominasi, dan asabiyyah perlahan hilang.
Pandangan ini tentu relevan di era sekarang bahkan di era manapun, ketika banyak negara menghadapi tantangan korupsi, birokrasi tidak efektif, dan ketidakstabilan politik. Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa negara runtuh bukan hanya karena serangan eksternal, tetapi karena kerusakan moral internal.
Ernest Gellner, salah satu sosiolog ceko-inggris yang banyak mengkaji Ibnu Khaldun, menyatakan bahwa nasionalisme modern memiliki peran seperti asabiyyah dalam tatanan politik kontemporer.
Namun, ia juga mengakui bahwa analisis Ibnu Khaldun tentang solidaritas mikro tetap lebih tajam, karena mampu menjelaskan dinamika sosial yang tidak selalu terlihat dalam struktur negara modern. Kritik terhadap pandangan Gellner menunjukkan betapa pemikiran Ibnu Khaldun masih bisa menjadi kajian yang relevan bagi ilmuwan sosial hingga kini.
Menggali hikmah kitab Muqaddimah untuk kebangkitan Indonesia
Indonesia modern menghadapi banyak tantangan yang kompleks. Sebagai bangsa yang plural, dengan beragam etnis, suku, dan bahasa, kita tentu akan menghadapi berbagai tantangan, bahkan ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri. Korupsi menjadi salah satu masalah utama yang harus dituntaskan demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
Gaya hidup politisi yang memamerkan kemewahan juga relevan dengan pandangan Ibnu Khaldun, yang menekankan bahwa kemewahan dapat melemahkan moral dan solidaritas sosial. Hal ini harus menjadi fokus perhatian Indonesia dan segera diselesaikan untuk memperkuat fondasi bangsa.
Pemikiran Ibnu Khaldun menurut saya memberikan fondasi kuat untuk memahami dinamika sosial, politik, dan peradaban. Konsep asabiyyah, teori siklus peradaban, kritik moral terhadap kemewahan, serta integrasi akal dan wahyu menunjukkan kedalaman visi peradaban Islam.
Ketika umat Islam dewasa ini tengah menghadapi tantangan besar mulai dari krisis solidaritas hingga lemahnya kepemimpinan, pemikiran Ibnu Khaldun dapat menjadi panduan untuk merumuskan kembali strategi kebangkitan.
Dengan membaca Muqaddimah bukan sekadar sebagai teks sejarah, tetapi sebagai pelajaran peradaban, umat Islam dapat menemukan arah baru yang menggabungkan kekuatan spiritual, intelektual, dan sosial. Inilah warisan Ibnu Khaldun yang tetap hidup dan relevan untuk membangun masa depan Islam yang lebih kuat dan bermartabat.
Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menurut saya juga menawarkan banyak pelajaran berharga bagi Indonesia. Konsep asabiyyah yang menekankan pentingnya persatuan ini tentu selaras dengan asas Bhinneka Tunggal Ika yang kita miliki, teori siklus peradaban yang mengingatkan bahwa kejayaan hanya lahir dari moralitas dan kerja keras, serta kritiknya terhadap kemewahan yang melemahkan karakter, dapat menjadi cermin bagi kondisi bangsa saat ini.
Jika nilai-nilai tersebut dipahami dan dihidupkan Kembali mulai dari integritas pemimpin, penguatan solidaritas sosial, hingga etos kerja generasi muda, maka Indonesia bisa punya peluang untuk membangun peradaban yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan. Dengan kata lain, hikmah Muqaddimah tidak hanya relevan bagi dunia Islam, tetapi juga menjadi panduan strategis bagi kebangkitan bangsa di era modern.

