Artikel

Tak Boleh Berbuat Kejahatan Pada Kemanusiaan

11 Mins read
(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)


KULIAHALISLAM.COM – Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada setiap manusia
dimanapun, ia berada tanpa perbedaan ras, ideologi, serta agama atau kepercayaan
yang dimilikinya. Oleh sebab itu, munculnya konsep HAM dianggap sebagai suatu
isu penting dunia yang harus diperhatikan bersamaan dengan perkembangan
kesadaran manusia akan pentingnya mengakui, menghormati, dan mewujudkan
manusia yang berdaulat dan utuh.

Perkembangan besar HAM setidak-tidaknya dapat dilihat sebelum dan setelah
Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia II, HAM berkembang berdasarkan konteks
pengertian negara-negara tertentu. Pada masa itu, telah ada bentuk acuan HAM yakni
‘Magna Charta’ yang dilahirkan di Inggris (1215). Di Amerika, makna HAM juga
dapat dilihat sejak Tahun 1776 pada The Declaration of Independence, khususnya the
right to life, the right to liberty,
dan the right to pursue happiness. Hal yang sama juga
dapat dilihat di Perancis pada Declaration des droits de I’homme et du citoyen pada
1789. Perkembangan selanjutnya adalah ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Tanggal 10 Desember 1948, mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM/Universal Declaration of Human Right /UDHR) yang dianggap sebagai penanda babak baru wacana HAM internasional. Indonesia juga secara aktif melakukan perlindungan HAM sesuai prinsip hak asasi manusia internasional. Salah satu upaya prinsipil tersebut terlihat dengan ditempatkannya pasal-pasal tentang HAM pada Undang-undang Dasar 1945.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya untuk mempertahankan dan melindungi
HAM tersebut, masih sering terlihat adanya pelaksanaan yang hanya melihat hukum
sebagai aturan normatif semata tanpa upaya mengkaji aturan dan putusan peradilan
yang ada dalam pespektif lainnya seperti sosiologis, philosophis, ekonomis, politik
dan lainnya. Berbagai kasus yang memunculkan pergesekan antara aspek HAM
dengan aspek lain dari sistem hukun masih sering terjadi. Salah satu ketidakselarasan
dalam pengertian arti HAM terlihat ketika memaknai arti HAM yang tercantum dalam
UUD 1945.

Pada Pasal 28J (1) disebutkan bahwa ‘setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara’. Pasal ini berimplikasi penting dalam memahami definisi HAM, dan
terkait secara langsung dengan kegiatan yang berhubungan dengan HAM masa lalu.
Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk penyamaan persepsi dalam pengertian
HAM, khususnya pada prinsip pengaturan kejahatan masa lalu yang banyak
berorientasi pada kejahatan kemanusiaan. Hal ini penting untuk dibahas, sebab salah
satu penyebab ketidakselaran penerapan HAM karena tidak jelasnya pengertian
kejahatan atau tindakan yang dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.

Makalah ini mencoba menggambarkan bagaimana pengertian kejahatan
kemanusiaan yang ada dalam hukum internasional, dan yang diselaraskan menjadi
acuan dalam UUD 1945 dan sebagai pertimbangan dalam mengadili kasus HAM di
tanah air. Untuk melihat secara detail, makalah ini akan memaparkan tiga contoh
kasus yang berhubungan dengan tindakan masa lalu yang berhubungan dengan
pengertian kejahatan kemanusiaan. Sebagai masukan dalam pembentukan Badan
Pengkajian dan Pemasyarakatan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan bernegara, maka pembahasan ini menggunakan konsep penerapan filosofi restorative justice dalam
pelaksanaan HAM di Indonesia.

Apa Kejahatan Kemanusiaan?

Mengapa pengertian kejahatan kemanusaiaan (crime against humanity) penting dalam membahas Hak Asasi manusia di Indonesia dan bagaimanakah sebenarnya pengertian ini sehingga ia dijadikan alasan pengecualian dalam prinsip non-retroaktif sesuai Pasal 28I (1) UUD 1945. Pengertian ini penting dibahas untuk melihat dan menguji apakah pengertian kejahatan kemanusiaan yang dipakai dalam hukum internasional sesuai dengan teori kejahatan kemanusiaan di Indonesia serta apakah kejahatan kemanusiaan ini sesuai dengan pengertian kejahatan kemanusiaan yang gambarkan dalam kasus-kasus
retroaktif di Indonesia.
Selain itu, bagaimana pengertian yang ada pada kejahatan kemanusiaan.

Mengenai mengapa ada istilah kejahatan kemanusiaan, Bassioni mengatakan: The term of “crimes against humanity” is existed prior to World War II. It is because the 1868 Saint Petersburg Declaration has mentioned the limitation of the use certain explosive or incendiary projectiles in times of war, since they were declared contrary to the laws of humanity. Meanwhile, the expression of crimes against humanity was used for the first time in the 1915 Declaration by the governments of France, Great Britain and Russia denouncing the massacre of Armenians taking place in Turkey.
Bassiouni menambahkan bahwa jenis kejahatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam kaitannya dengan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak dalam pelanggaran hukum domestik dari negara di mana kejahatan tersebut dilakukan.
Jenis kejahatan yang di sebutkan oleh Bassiouni ini sebenarnya diambil dari jenis
kejahatan yang telah disebutkan dalam Pasal 6 (c) dari Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter). Oleh sebab itu, untuk membahas pengertian kejahatan kemanusiaan ini, maka pembahasan dapat dimulai dari bagaimana pengertian hukum yang berkembang dari pasal ini. Pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai: murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial, or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of domestic law of the country where perpetrated.

David Luban 6 menyatakan bahwa pasal ini memberikan 5 unsur dalam pengertiannya sehingga ia dapat dimengerti dan dipakai dalam ketentuan hukum nasional tertentu.

1. Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara
sendiri atau orang asing (Crimes against humanity are typically committed
against fellow nationals as well as foreigners).
Sesuai dengan sejarah Pasal 6 (c)
ini, pasal ini dibuat untuk mengisi kekosongan hukum kemanusiaan pada Tahun
1945, yang menyatakan bahwa kategori kejahatan perang terhadap penduduk
sipil adalah pelanggaran hukum bilamana kejahatan itu dilakukan hanya terhadap
orang asing. Sementara Nazi, dianggap melakukan kejahatan terhadap warga
negara mereka yang beragama Yahudi serta orang asing di wilayah Austria.
Oleh sebab itu, pemikiran bahwa suatu negara dianggap bisa melakukan
kejahatan untuk membunuh rakyatnya sendiri dapat dilihat dari contoh tersebut
diatas sehingga pengertian crime against humanity ini perlu mengatur hal itu. Ini
disebabkan karena pengertian kejahatan sebelumnya yang dipakai mengenai
kejahatan kemanusiaan ini adalah aturan hukum perang, yang berorientasi pada
masyarakat negara sendiri di satu pihak, dan lawan sebagai pihak lain.
Dengan
demikian, dengan pengertian ini, maka sebuah kejahatan kemanusiaan itu dapat
saja terjadi baik bagi masyarakat sendiri maupun orang asing, serta yang terjadi
didalam maupun diluar perang. Selain itu, pengertian ini juga berarti bahwa
kejahatan kemanusiaan dapat saja dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya
sendiri maupun oleh musuh kepada rakyat.
Dari pengertian ini, dapat dimengerti mengapa seorang Gubernur seperti Abilio
Soares dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan, meski korbannya
adalah masyarakat Timor Timur. Selain itu, aparat hukum yang melakukan
tindakan represif pada masyarakat dapat dikategorikan sebagai kejahatan
kemanusiaan apabila ada korban yang jatuh dalam tindakan tersebut. Da sesuai
dengan pertimbangan lainnya.

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional (Crimes against
humanity are international crimes).
Pengertian dari Pasal 6 (c) Piagam
Nuremberg ini memberikan makna luas bahwa suatu kejahatan kemanusiaan
dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan ini bukan dalam
ketegori tersebut pada ketentuan hukum suatu negara dimana kejahatan atau
tindakan itu dilakukan. Dalam Pasal 7 dan 8 dari Piagam Nuremberg
memperlihatkan bahwa seorang kepala negara tidak akan dapat berlindung
dibalik kekebalan otoritasnya atau seseorang tidak boleh berlindung dibelakang
alasan perintah atasan untuk bebas dari tuduhan kejahatn ini. Pasal 7 dan 8
menyatakan:
Article 7, The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible
officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them
from responsibility or mitigating punishment. Article 8, The fact that the Defendant acted pursuant to order of his Government or of a superior shall not free him from responsibility, but may be considered in mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so requires.
Menurut Luban dari pengertian ini, kejahatan yang dilakukan sebelum dan
selama masa perang juga dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan hal
itu berarti bahwa tindakan kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi Jerman
sebelum tahun 1939, meskipun pada saat itu dalam keadaan damai merupakan
kejahatan kemanusiaan. Meski tindakan ini adalah retrospektif karena
dikategorikan sebagai tindakan masa lalu yang belum diatur oleh hukum,
berdasarkan pengertian ini, kejahatan Nazi tersebut dapat dikategorikan sebagai
kejahatan kemanusiaan.

3. Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh politik terorganisirkelompok
bertindak dengan dasar kebijakan (Crimes against humanity are committed by
politically organized groups acting under color of policy)
Piagam Nuremberg
mensyaratkan bahwakejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen
negara. Pasal 6 (c) mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan “kejahatan
terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat
dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai
jabatan.

4. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan
tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan (Crimes against humanity consist of the most severe and abominable acts of violence and persecution). Pasal 6 (c) Piagam Nurembergmembedakan antara dua jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang pertama adalah kejahatan yang terdiri dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan ‘tidak manusiawi lainnya’. Kejahatan jenis pembunuhan adalah kejahatan yang mengandung nilai atau dimensi ‘kekejaman dan kebiadaban. Dalam Pasal 6 (c) ini, kejahatan ini juga biasa ditambahkan dengan kejahatan penjara yang mempunyai unsur ‘melanggar aturan dasar hukum internasional’ atau kejahatan lainnya yang yang
dianggap ‘tindakan yang tidak manusiawi lainnya,” sesuai Statuta Roma.

5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban
berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter
individu (Crimes against humanity are inflicted on victims based on their
membership in a population rather than their individual characteristics).

Menurut Luban, suatu ketentuan atau undang-undang mendefinisikan kejahatan
terhadap kemanusiaan memasukkan populasi sebagai salah satu persyaratan persyaratan
dari unsur kejahatan pembunuhan, serta persyaratan niat diskriminatif sebagai
unsur kejahatan penganiayaan. Kedua persyaratan ini mentukan bahwa pada
dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan
terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari
kelompok. Untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa besar jumlah orang
dalam kelompok sebagai korban yang dimaksud sehingga ia dapat dikatakan
sebagai suatupenduduk. Luban menyatakan: “…how large a group must be to constitute a population. Does the population requirement mean that the crimes are committed on a large “population-size” scale-in other words, that to qualify as crimes against humanity, they must be not just atrocities but mass atrocities? To support this reading of the population requirement, it might be argued that nothing less than mass horror justifies
internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than
domestic concern.

Kejahatan Kemanusiaan di Indonesia

Instrumen hukum nasional Indonesia telah menerangkan mengenai pengertian kejahatan kemanusiaan yang mana ketentuan dalam pengaturan ketentuan kejahatan ini diadopsi dari ketentuan ketentuan internasional yang
mengatur mengenai delik atau kejahatan kemanusiaan, serta sering di konotasikan sebagai kejahatan HAM. Melalui pembentukan UU Hak Asasi Manusia serta UU pengadilan
HAM, Indonesia menyatakan persetujuannya mengenai pengertian kejahatan
kemanusiaan seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Anti Penyiksaan 1984
dalam tindakan peratifikasian ketentuan melalui UU No. 5 Tahun 1998.
Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1998, ada lima hal penting didalamnya
yaitu: pertama, Indonesia mempunyai komitmen nyata untuk mencegah,
mengatasi, dan mengakhiri fenomena penyiksaan, kedua, Indonesia harus menyempurnakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketiga,
Indonesia memberikan legitimasi hukum yang lebih memadai untuk
mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan yang melibatkan aparat
negara, langsung maupun tidak langsung, keempat, Indonesia menyadari
bahwa upaya untuk mengatasi penyiksaan harus dilakukan secara
multilateral, kelima, Indonesia mengakui kewenangan Komisi Menentang
Penyiksaan PBB untuk mencegah, mengatasi, dan mengakhiri penyiksaan. Selain itu, pada Pasal 7 dan 9 UU PHAM, penyiksaan merupakan salah
satu bentuk atau jenis kejahatan terhadap kemanusiaan bilamana dikaitkan
dengan karakterisitik tindakan tersebut, serta berdasarkan suatu kebiasaan
yang di praktekkan oleh negara-negara. Berdasarkan ketentuan dan
kebiasaan internasional ini pula, maka ketentuan nasional (UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM) menentukan bahwa tindakan kejahatan ini,
yang biasa pula dikenal sebagai pelanggaran HAM berat, menentukan bahwa
tindakan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu kejahatan luar biasa,
selain kejahatan genosida.

Kasus Indonesia dalam Kejahatan Kemanusiaan

a. Kasus Masykur Abdul Kadir dan UU Terorisme September 2002, Masykur, membantu Sutomo (Imam Samudra) menyewa mobil dan dipakai pada bom Bali. Masykur dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Masykur menggugat UU No 16 (2002) tentang bom Bali ke MK, bertentangan Pasal 28I (1) UUD 1945 (non-retrospeksi) dan Pasal 1 (1) KUHP (Asas Legalitas). Perdebatan pengertian retroaktif, kejahatan kemanusiaan, dan hak asasi manusia terjadi. MK memutuskan UU No.16/2003 inkonstitusional. Namun, Masykur tetap dihukum, karena Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Konstitusi (dalam
waktu yang hampir bersamaan) mengumumkan, keputusan MK hanya berlaku
untuk kasus yang akan datang.

b. Kasus Abilio Soares dan UU Pengadilan HAM 14 Agustus 2002, Abilio Jose Osario Soares dijatuhi 3 tahun penjara berdasarkan UU No. 26/2000 Pengadilan HAM. Abilio dituduh melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia pada 1999. Padahal Pasal 51 UU ini menyatakan: ‘UU ini berlaku pada tanggal ditetapkan’ yakni 23 November 2000.
Soares bermohon retrospektif ke MK bahwa UU Pengadilan HAM bertentangan Pasal 28I (1) UUD 1945. Meski MK tahu UU Pengadilan HAM retrospektif, ia
menolak permohonan Soares.
Alasan penolakan karena hak asasi manusia dan penegakan hukum telah diakui
oleh masyarakat internasional, jadi harus dihormati dan dilindungi. Juga,
kepentingan umum jauh lebih penting daripada hak-hak pribadi c. Kasus Mantan Anggota Partai Politik terlarang dan UU Pemilu Pada tanggal 24 Feb 2004, 35 orang mantan anggota partai politik PKI bermohon ke MK mengenai Pasal 60 (g) UU No 12/2003 tentang larangan mantan anggota organisasi PKI dan ormasnya menjadi calon anggota DPR. Delapan dari sembilan hakim MA setuju untuk menerima proposal tersebut
dengan alasan: diskriminasi terlarang oleh UUD 1945, masyarakat Indonesia
memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih, Pasal 60 (g) UU No.
12/2003 adalah pembatasan hak-hak politik, dan tidak sejalan dengan prinsip
keadilan dan moralitas Indonesia, serta larangan bagi mantan anggota partai politik
tersebut hanyalah sanksi politik yang tidak masuk akal apabila diubah menjadi
sanksi hukum.

Baca...  Profil Prof Denny Indrayana, Ph.D Pakar Hukum Indonesia

Dari kasus-kasus diatas, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yakni:


– Pada kasus Masykur, terorisme dianggap sebagai kejahatan kemaunusiaan,
namun demikian, UU no 16/ 2003 tentang Bom Bali sebagai salah satu UU
terorisme dihapuskan oleh MK, dan tidak meganggap bahwa terorisme adalah
kejahtan kemanusiaan. Hal ini memang menimbulkan perdebatan di MK
sehingga terlihat inkonsistensi putusan sehubungan dengan hal yang sama pada
kasus lainnya. Selain itu, UU Anti-Terorisme No. 15 (2003) dalam Pasal 64 menyatakan bahwa Undang-undang ini adalah UU retrospektif, tapi salah satu ketentuan penutup
menentukan bahwa undang-undang ini hanya bisa berlaku surut untuk ‘kasus-kasus pidana tertentu yang akan ditentukan oleh hukum atau peraturan pemerintah. Pemerintah dan Legislator dapat menentukan kejahatan apa saja yang dapat dikatakan sebagai ‘pidana tertentu’ tersebut.

– Usulan Abilio Soares didasarkan pada dasar hukum yang berlaku surut, dan
Pasal 43 UU No 26 (2000) dianggap bertentangan dengan Pasal 28 I (1) UUD
1945. Usulan Soares ditolak oleh MK mengungkapkan inkonsistensi. Pertama,
dalam aspek hukum, hakim MK menyadari Undang-undang tersebut berlaku
retrospektif tapi mereka mengabaikan. Kedua, dalam hal hak asasi manusia,
khususnya non-derogable rights, penentuan hak individu tidak jelas dan
bertentangan dengan UU No. 26 (2000). Dalam konsiderannya, UU ini
menyebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang diberikan
secara alami dimiliki oleh umat manusia yang harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Ketiga, meskipun hukum Indonesia telah berusaha untuk mengakomodasi nilainilai HAM internasional, Amnesty International menganggap masih ada
ketidakpastian hukum didalam UU Pengadilan HAM dan mempunyai potensi
tidak konsisten, misalnya Pasal 5 yang menyatakan kewenangan Pengadilan
HAM untuk memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran berat hak asasi
manusia oleh warga negara Indonesia di dalam atau di luar wilayah Indonesia,
tidak memberikan kesempatan bagi universal jurisdiction hukum internasional
untuk melakukan penuntutan. Keempat, ketidakpastian bagaimana menemukan
solusi perbedaan dalam mencari definisi genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.

Selama ini, definisi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang dinyatakan dalam undang-undang ini diambil dari Statuta Roma, yang
secara resmi belum diratifikasi oleh Indonesia. Ini berarti, akan sulit nantinya
bila ingin menjadikan Statuta Roma sebagai sumber dalam mencari definisi
otentik genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada kasus mantan Anggota PKI yang berhubungan dengan kejadian masa lalu, dimana keterlibatan para mantan anggota PKI dan ormasnya adalah kejahatan kemanusiaan seakan dianulir dibawah bayang-bayang konsep reformasi.

Penutup

Pasca rezim Orde Baru pada Tahun 1998 memperlihatkan bahwa pemerintah
beserta masyarakat bersama-sama menyatukan ide pemerintahan yang lebih baik
dengan lebih banyak membuka kesempatan dialog sesuai konsep demokratis. Ide ini
dijalankan dibawah bendera reformasi total dalam upaya memperbaiki bangsa meski
pada masa transisi ini, tantangan yang simultan pada faktor ekonomi, sosial, dan
prubahan politik tidak terelakkan. Reformasi total yang menuntut control militer yang
sedikit disamping kebangkitan organisasi masyarakat sipil, serta penghargaan pada
aturan HAM menjadi issu utama. Oleh sebab itu, Undang-undang dan peraturan baru tentang hak asasi manusia mulai diterapkan dan perjanjian-perjanjian atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Hak dan Kovenan Internasional tentang Rights diadopsi ke dalam sistem hukum.
Namun demikian, perkembangan positif pemerintah dalam upaya komitmen
menegakkan HAM yang memberikan peluang hukum dan politik HAM terlaksana
sesuai standar universal, tidak benar-benar dilaksanakan, sebab kenyataan sering
memperlihatkan bahwa perlindungan dan citra HAM tidak banyak berpengaruh secara
nyata dalam melindungi pemilik hak, bahkan cenderung tersembunyi dalam euforia
umum pertemuan hak asasi manusia, komite,deklarasi, dan sebagainya.

Oleh karena
itu, dalam upaya menuntaskan permasalahan dalam upaya perlindungan HAM, perlu
senantiasa dilakukan analisisa terhadap akar permasalahan yang ada dari semua pihak.
Ketika ada upaya masyarakat dan pemerintah untuk mencari akar permasalahan
dan penyelesaian permasalahan dalam dinamika perkembangan HAM di Indonesia,
maka wacana dalam konteks nasional memerlukan prosesproliferasi hak asasi
manusia yang melibatkan semua bidang dalam masyarakat termasuk memperhatikan
dan mempertimbangkan isu-isu sosial, budaya, dan politik.

Dalam konteks Indonesia, upaya untuk mendukung perkembangan HAM ini
melibatkan pemahaman keseluruhan wacana, khususnya dalam kontekstual di mana
semua bidang di masyarakat dipakai secara transparan dan tidak terisolasi. Hal ini
sesuai dengan apa yang diungkapakan oleh Hadiprayitno bahwa telah banyak ahli
yang menyatakan bahwa budaya, yang melibatkan fokus pada nilai-nilai keluarga,
hubungan patron-klien, menghormati, dan harmoni sosial, mendominasi politik
struktur di Indonesia, terutama sejak Orde Baru. Hal ini didukung dengan adanya
nilai-nilai Pancasila yang terpelihara dan diterima sebagai ideologi efektif, sehingga
mempertahankan status quo. Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan wacana hak asasi manusia di Indonesia adalah tekanan internasional. Hal ini dapat dilihat pada kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur dalam 1990an.
2363 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

Sekolah Bisnis Online dan Konsultan Feasibility Study: Meningkatkan Kualitas Bisnis di Era Digital

4 Mins read
Pendahuluan Di era digital yang terus berkembang, memulai dan mengelola bisnis bukan lagi hal yang sulit. Teknologi internet memberikan akses ke berbagai…
Artikel

Konsultan Feasibility Study (FS) dan Jasa Pembuatan Feasibility Study: Panduan Lengkap

4 Mins read
Pendahuluan Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, pengambilan keputusan yang tepat menjadi kunci untuk memastikan keberhasilan suatu proyek. Salah satu tahapan yang…
Artikel

Ajaran Berniaga dalam Islam di Era Digital: Memaksimalkan Potensi dengan Pasarino

1 Mins read
Dalam era digital yang semakin pesat, dunia bisnis mengalami transformasi yang signifikan. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights