Makam para wali di tanah Jawa menyimpan banyak kisah tentang perjalanan dakwah islam yang dilakukan secara damai, penuh kearifan, dan selaras dengan budaya masyarakat setempat.
Tradisi ziarah ke makam bukan hanya sekedar bentuk penghormatan terhadap tokoh penyebar agama, melainkan juga menjadi ruang pembelajaran spiritual dan historis bagi umat islam masa kini. Melalui ziarah, kita dapat memahami bagaimana nilai dakwah, kesederhanaan, dan keteladanan diwariskan lintas generasi.
Salah satu tempat yang terdapat banyak nilai sejarah dan spiritual tersebut adalah Makam Sunan Pandanaran atau Mbah Bayat, yang berlokasi di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Kompleks makam ini bukan hanya menjadi tujuan wisata religi, tetapi juga menjadi sumber inspirasi tentang makna keikhlasan, perjuangan, dan jalan menuju kedekatan dengan Sang Pencipta.
Sabtu, 11 Oktober 2025, menjadi hari yang bermakna bagi kami. Bersama Bapak Dosen Raha Bistara, sebagai dosen pengampu mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, kami melaksanakan kegiatan outing class untuk memperdalam pemahaman tentang sejarah dan kebudayaan Islam di Jawa.
Pada sekitar pukul 09.30 WIB, saya dan 7 orang teman kelas saya berangkat bersama dari kampus UIN Raden Mas Said Surakarta menggunakan sepeda motor. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih satu jam terasa menyenangkan. Di sepanjang jalan, hamparan sawah hijau dan perbukitan melukis keindahan alam ciptaan Allah SWT.
Jarak sekitar 34 kilometer terasa seperti langkah menuju pembelajaran baru. Bayat menyambut kami dengan udara yang hangat dan suasana pedesaan yang tenang seolah mengajak kami untuk menemukan makna di balik setiap tapak perjalanan.
Setibanya di kompleks makam, udara terasa sejuk meskipun matahari mulai meninggi. Di area sekitar tampak ramai oleh para peziarah dan pedagang yang menjual aneka cendera mata, makanan tradisional, serta perlengkapan ibadah.
Sambil menunggu kehadiran dosen, kami berkeliling dan menikmati suasana sekitar dan membeli cendera mata khas bayat yang menarik perhatian. Setelah semua berkumpul , Bapak dosen Raha Bistara memberikan penjelasan mengenai sejarah dan makna spiritual makam Sunan Pandanaran.
Beliau menjelaskan bahwa kompleks makam ini memiliki 152 anak tangga yang harus dilalui peziarah untuk sampai ke puncak. Setiap gapura yang dilewati menggambarkan tahapan perjalanan spiritual manusia menuju kesempurnaan jiwa.
Menurut penuturan beliau, Sultan Ageng turut berperan dalam pembangunan beberapa gapura sebagai bentuk penghormatan terhadap Sunan Pandanaran, yang dianggap sebagai sumber spiritual di wilayah Bayat.
Sunan Pandanaran, atau dikenal juga sebagai Ki Ageng Pandanaran dan Sunan Kalinukba, merupakan wali penyebar islam di wilayah Ngaksigondo (sekarang Bayat). Beliau adalah mantan Bupati Semarang yang memilih meninggalkan kekuasaan dan harta setelah mendapat pencerahan dari Sunan Kalijaga.
Dari pertemuan itu, beliau belajar tentang hakikat kehidupan, kesederhanaan, dan makna sejati pengabdian kepada Allah. Dalam perjalanan dakwahnya Sunan Pandanaran mengajarkan islam dengan pendekatan tasawuf dan budaya lokal, sehingga ajarannya diterima masyarakat dengan damai. Karena kesalehannya dan perjuangannya, beliau digolongkan ke dalam Wali Abdal, yaitu wali generasi kedua yang meneruskan perjuangan Sunan terdahulu.
Saat menaiki tangga menuju puncak makam, kami melihat banyak simbol-simbol unik dan batu nisan. Ada nisan bergambar bulan, yang menandakan makan seorang ulama atau kyai ciri khas budaya Ngaksintoro atau islam Mataraman bagian selatan.
Ada juga corak kepala ikan lambang ajaran islam sufi satoriyah yang menekankan pencarian spiritual melalui ilmu batin dan dzikir. Bayat dikenal memiliki unsur metafisika yang kuat. Konon, suara adzan dari Masjid Bayat dapat terdengar hingga ke Demak, tempat Raden Patah, hal ini merupakan sebuah karomah yang diyakini sebagai tanda kedekatan spiritual para wali dengan Allah SWT.
Di kawasan makam juga terdapat Padang Arang, tempat masyarakat datang untuk berdoa dan menenangkan diri ketika menghadapi persoalan hidup. Kepercayaan setempat mengatakan bahwa siapapun yang datang dengan hati tulus akan menemukan ketenangan batin.
Selain itu, di sekitar Bayat terdapat Jabalkat, sebuah tempat bersejarah yang dulu digunakan untuk belajar agama sekaligus ilmu bela diri. Perjalanan panjang dari Semarang menuju gunung Jabalkat dengan petualangan ditempuh Sunan Tembayat dengan jarak kurang lebih 120 kilometer. Di sinilah spiritualitas berpadu dengan kekuatan lahir,menggambarkan keseimbangan antara ilmu dan amal.
Penjelasan dosen kami menarik ketika beliau mengaitkannya dengan sumber literatur.beliau menyinggung buku karya George Quinn berjudul Wali Berandal Tanah Jawa, seorang peneliti asal australia yang telah enam kali melakukan ziarah ke situs-situs wali di Jawa, termasuk ke Bayat.
Buku tersebut mendeskripsikan Bayat sebagai tempat yang memadukan unsur sejarah, budaya, dan spiritualitas masyarakat Jawa islam. Selain itu ada beberapa karya lainnya yang banyak dijadikan rujukan dalam riset sejarah islam lokal. Dari karya-karya itu terlihat bahwa Bayat bukan hanya tempat ziarah melainkan juga laboratorium spiritual dan budaya yang masih hidup hingga kini.
Setelah penjelasan berakhir, kami menaiki anak tangga satu persatu menuju puncak makam. Setiap langkah terasa seperti perjalanan batin, menanjak, menahan lelah, tapi penuh makna. Saat tiba di area makam, suasana berubah menjadi sangat hening. Kami membaca doa dan tahlil bersama yang dipimpin oleh Bapak Dosen.
Di tengah keheningan itu, hati terasa damai, seolah ada energi spiritual yang menenangkan. Melalui pengalaman ini. Saya belajar bahwa Sunan Pandanaran bukan hanya tokoh sejarah, tetapi teladan hidup. Beliau mengajarkan bahwa kekuasaan, harta, dan kemuliaan dunia tidak berarti apa-apa jika tidak digunakan untuk berbuat kebaikan. Kesederhanaan, keikhlasan, dan perjuangan di jalan Allah menjadi nilai yang abadi.
Ziarah ke Makam Sunan Pandanaran Bayat bukan sekedar kegiatan akademik, tetapi perjalanan batin yang menumbuhkan kesadaran spiritual. Dari setiap anak tangga, setiap simbol nisan, hingga setiap doa yang terucap, kami belajar tentang ketulusan, keikhlasan, dan makna pengabdian.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa perjalanan, lahirlah pelajaran bahwa setiap langkah menuju tempat suci adalah langkah menuju kedewasaan imam. Bayat bukan sekedar tujuan wisata religi, tetapi juga cermin bagaimana islam hidup, tumbuh, dan berakar dalam budaya Jawa dengan damai dan penuh cinta.

