Esai

Hujan Mikroplastik: Panggilan Tobat dari Langit Jakarta

3 Mins read

Hujan mikroplastik: panggilan tobat dari langit Jakarta. Langit Jakarta yang kelabu kini menyimpan ancaman yang jauh lebih runcing dan sunyi daripada sekadar polusi udara musiman, yakni hujan mikroplastik.

Sebagaimana dikonfirmasi dan disampaikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dirilis ke publik pada pertengahan Oktober 2025, bahwa air hujan di Ibu Kota terkontaminasi oleh partikel plastik berukuran sangat kecil—sebuah fenomena yang kita kenal sebagai hujan mikroplastik.

Seorang Peneliti BRIN, Muhammad Reza Cordova, menyebutkan bahwa riset intensif ini—meskipun studinya telah berjalan sejak lama—menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan dan menjadi alarm keras bagi kita semua.

Fenomena ini, yang dikenal sebagai atmospheric microplastic deposition, menunjukkan bahwa sampah plastik yang kita buang sembarangan—mulai dari serat sintetis pakaian, debu ban kendaraan, hingga sisa pembakaran sampah terbuka—tidak berakhir di tempat sampah atau lautan.

Sebaliknya, partikel ringan ini terangkat ke atmosfer langit, berkeliling bersama angin, dan akhirnya jatuh kembali ke bumi bersama air hujan. Dalam setiap tetesan hujan, kita tidak lagi menerima berkah air murni dan suci, melainkan racun yang kita ciptakan sendiri.

Pertanyaan Kritis dan Peringatan Ekologis

Temuan ini harus segera mendorong kita pada refleksi yang mendalam, bukan sekadar kepanikan sesaat. Di balik data 15 partikel per meter persegi, muncul pertanyaan fundamental: Apa arti krisis lingkungan ini dari sudut pandang moral dan spiritual?

Selama ini, kita cenderung melihat alam sebagai objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas—sebagai “gudang” material dan sekaligus “tempat sampah” raksasa. Pandangan antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa alam telah membiakkan budaya ekonomi sekali pakai yang rakus.

Kita gagal memahami bahwa alam, dalam perspektif spiritual banyak agama–terutma islam–adalah sebuah ciptaan suci (atau setidaknya, anugerah) yang memiliki nilai intrinsik dan hak untuk hidup dan lestari.

Baca...  Idul Fitri dan Kemacetan Sepanjang Jalan

Fenomena hujan mikroplastik ini bisa dipandang sebagai manifestasi nyata dari dosa ekologis kita dan cerminan perilaku serakah nan abai yang tak hanya merusak alam, tetapi juga menjelma menjadi boomerang yang mengancam kita sendiri.

Partikel mikroplastik membawa ancaman ganda: kerusakan lingkungan yang permanen dan risiko kesehatan serius (gangguan hormonal hingga peningkatan risiko kanker) yang tersemat dalam makanan dan air yang kita konsumsi. Jakarta, sebagai pusat peradaban dan ekonomi, kini menjadi saksi bisu, di mana langitnya memantulkan kegagalan kita mengelola berkah dan amanah yang diberikan Tuhan.

Pemerintah memang harus bertindak cepat dengan regulasi yang lebih ketat, penetapan standar baku mutu mikroplastik, dan penegakan hukum terhadap pembakar sampah.

Namun, masalah ini terlalu besar untuk diselesaikan hanya dengan kebijakan teknokratis. Kita membutuhkan apa yang disebut Nasr dengan istilah “perubahan paradigma” (shift paradigm) yang lebih mendasar.

Dari Eksploitasi Menuju Kepengurusan: Ekoteologis Sebagai Solusi

Untuk mengatasi krisis hujan mikroplastik, kita harus beralih dari paradigma filosofi eksploitasi menuju perspektif ekoteologis yang holistik dan transformatif. Ekoteologi, sebagai cabang teologi yang fokus pada interelasi agama dan alam, menawarkan tiga pilar solusi:

  1. Menghidupkan Kembali Etika Kepengurusan (Stewardship):

Dalam banyak tradisi spiritual, manusia diposisikan sebagai Khalifah (pemimpin) atau Steward (pengurus) Bumi, bukan pemiliknya. Solusi pertama adalah menginternalisasi bahwa kita bertugas merawat, bukan merusak.

Ini berarti melihat pengelolaan sampah dan pengurangan plastik sebagai kewajiban spiritual, bukan sekadar kewajiban hukum. Jika membuang plastik sembarangan adalah dosa terhadap sesama manusia dan alam (sebab dampaknya mengancam kehidupan), maka merawat Bumi adalah ibadah.

Masyarakat harus didorong untuk menganggap sampah plastik yang dihasilkan adalah tanggung jawab pribadi yang suci hingga dapat dikelola atau didaur ulang secara tuntas.

  1. Menerapkan Prinsip Kecukupan dan Kesederhanaan:
Baca...  Catatan Singkat: Dialog Sastra dan Literasi

Krisis plastik adalah krisis kelebihan. Ekoteologi mendorong kita untuk meninggalkan budaya konsumerisme yang didasari nafsu dan kembali pada prinsip kesederhanaan (sufficiency). Solusi konkretnya: Kurangi (Reduce) penggunaan plastik sekali pakai hingga ke titik minimal.

Ini adalah bentuk asketisme modern—sebuah disiplin spiritual untuk menahan diri dari godaan kemudahan instan yang ditawarkan plastik. Perubahan ini harus didukung dengan pembangunan infrastruktur daur ulang yang memadai dan didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Provinsi.

  1. Mengembangkan Rasa Hormat (Reverence) terhadap Alam:

Kita harus menggeser hubungan kita dengan alam dari sekadar transaksional menjadi relasional. Air hujan yang terkontaminasi adalah teguran bahwa kita telah merusak hubungan tersebut. Ekoteologi mengajak kita melihat elemen alam (air, udara, tanah) bukan sebagai sumber daya mati, tetapi sebagai bagian integral dari ekosistem hidup yang patut dihormati dan disyukuri.

Rasa syukur ini termanifestasi dalam tindakan nyata: dengan tidak membakar, tidak mencemari, dan membiarkan air hujan turun sebagai berkah yang murni, bukan ancaman yang membawa mikroplastik.

Pada akhirnya, hujan mikroplastik adalah panggilan tobat kolektif bagi warga Jakarta. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa kita mampu mengubah perilaku, menjalankan amanah kepengurusan, dan menyembuhkan luka yang telah kita torehkan pada langit dan Bumi.

Tanpa perubahan spiritual dan moral yang mendalam, setiap tetesan hujan akan terus membawa ancaman, dan peradaban kita akan tenggelam dalam limbah tak kasat mata yang kita hasilkan sendiri. Wallahu a’lamu.

5 posts

About author
Mahasiswa
Articles
Related posts
Esai

Memutus Rantai Ketakutan di Kampus: Solusi Holistik untuk Kekerasan Seksual, Perundungan, dan Beban Mental Mahasiswa

3 Mins read
Institusi pendidikan tinggi di Indonesia, yang seharusnya menjadi surga intelektual, kini terancam menjadi zona darurat mental dan keamanan. Data mengenai peningkatan drastis…
Esai

Bukan Masjid, Justru Rumah yang Dipertahankan: Sinyal Bahaya Penyelewengan Dana Keagamaan?

2 Mins read
Belakangan ini menyita perhatian publik, bukan hanya karena drama hukumnya, tetapi karena implikasi moral dan etika yang jauh lebih besar. Inti dari…
Esai

Kepala Sekolah Dinonaktifkan: Pesan Bahaya bagi Guru yang Berani Bertindak Tegas

2 Mins read
Kasus penonaktifan kepala sekolah SMA Negeri 1 Cimarga akibat menampar siswa yang kedapatan merokok menimbulkan perdebatan mengenai batas ketegasan guru dan kekerasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

PonpesMU Peringati Hari Santri Nasional 2025: Gelar Apel hingga Talk Show Pendidikan

Verified by MonsterInsights