Potret Politik Demokrasi Pemilukada 2024

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Bagaimana dengan demokrasi? Demokrasi sebagai paham maupun sistem politik yang berbasis pada ideologi kerakyatan-yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat-juga termasuk sesuatu yang kompleks dalam kehidupan manusia atau bangsa. Di mata penganutnya, sejak era Yunani Kuno sampai zaman modern ini demokrasi merupakan pandangan politik yang sangat penting, bahkan menjadi ideologi yang cenderung dominan saat ini dalam satu paket multikulturalisme bersama hak asasi manusia dan pluralisme.

Demikian kuat idealisasi tentang demokrasi, sehingga pada level tertentu mirip agama, yang dipahami secara "true believing" ala keyakinan fanatik buta. Para pengikut ideologi demokrasi yang menyatu dengan paham multikulturalisme seperti nilai hak asasi manusia dan pluralisme menjadikan paham ini sebagai universalisme, suatu pandangan yang menyemesta atau membuana yang niscaya dan mutlak. Tidak jarang, aktualisasi maju atau tidaknya suatu agama, watak konservatif atau progresifnya, relevan atau kehilangan relevansinya, antara lain diukur dari dimensi demokrasi atau multikulturalisme. Demokrasi dan multikulturalisme sampai batas tertentu menjelma menjadi agama baru dunia modern saat ini.

Demokrasi dan agama dalam kehidupan saat ini baik dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih masyarakat beragama sering saling berkaitan secara relasional. Di satu pihak, terdapat kategori-kategori negara dan bangsa yang disebut demokratis dengan menggunakan indeks tertentu untuk menunjukkan seberapa jauh dan nyata demokrasi dipraktikkan sekaligus menjadi basis nilai dalam kehidupan suatu bangsa atau negara dibandingkan dengan bangsa dan negara lain. Demokrasi akhirnya menjadi suatu ideologi sekaligus rezim yang juga hegemonik, lebih-lebih bagi negara dan bangsa yang meletakkan demokrasi sebagai ideologi dominan atau monolitik, sehingga demokrasi sebagaimana halnya hak asasi manusia dan toleransi menjadi sesuatu yang didewakan secara mutlak atau absolut.

Padahal, bagi dunia ilmu politik demokrasi itu bukanlah satu-satunya paham dan sistem yang ideal seratus persen, tetapi yang dipandang memiliki kekurangan atau problem lebih sedikit. Artinya, demokrasi-baik dalam pemikiran maupun praktik kehidupan tidak perlu di absolutkan dan dijadikan sistem yang monolitik dan hegemonik, sehingga tidak ada ruang demokrasi dalam berdemokrasi. Sebaliknya, niscaya terdapat ruang kritik dan relativitas dalam memahami dan mempraktikkan demokrasi agar tidak terjebak pada alam pikiran dan praktik mengagamakan demokrasi, lebih-lebih menuhankan demokrasi. Jika para penganut demokrasi demikian kritis dan sering bersikap menggugat (dekonstruksi) terhadap agama serta menjadikan praktik beragama sebagai suplemen dari demokrasi. Semestinya demokrasi itu sendiri, baik sebagai paham maupun sistem, niscaya terbuka (open-ended) terhadap kritik dan dekonstruksi agar tidak terjebak pada sangkar-besi demokrasi yang kemudian menjelma menjadi ideologi dan rezim totalitarian dalam bentuk lain. Haedar. Hlm, 8-10).

Menarik apa yang disebut fenomena "democracies die" atau "demokrasi mati" yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018). Demokrasi mati bukan di tangan jenderal, tetapi di tangan pemimpin terpilih yakni presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke kekuasaan. "Era rezim otoritarian dan kudeta militer relatif berakhir di dunia saat ini. Era "kematian demokrasi" oleh rezim pemerintahan terpilih secara demokratik tetapi membajak demokrasi untuk melanggengkan kekuasan dan praktik kekuasan politik otoritarian. Pelemahan norma demokrasi dan polarisasi partisan ekstrem pada era rezim demokratik menjadi sumber konflik eksistensial terkait ras dan budaya. Dicontohkan, "egalitarianisme, kesantunan, rasa kebebasan, dan tujuan bersama sebagai inti demokrasi di AS dan negara-negara Barat mulai diserang dari dalam. Kita mesti mencegahnya mati dati dalam." Kita berharap Indonesia tidak mengalami "kematian demokrasi" sebagaimana dicemaskan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.(Haedar Nashir. Hlm, 19).

Negara dan pemerintahan Indonesia harus benar- benar berdaulat, termasuk dari hegemoni politik oligarki Indonesia haruslah menjadi milik semua, jangan menjadi milik segelintir orang atau kelompok tertentu. Soekarno, dalam pidatonya di sidang BPUPKI tahun 1945 yang monumental menyuarakan pesan yang sarat jiwa kenegarawanan: "Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua"; bukan negara oligarki yang dikuasai dan dikendalikan segelintir orang".

Politik liberal yang transaksional dan semata berorientasi kekuasaan telah menjadikan kehidupan kebangsaan kehilangan jiwa, rasa, etika, kehormatan, dan sifat kenegarawanan yang sesungguhnya sangat penting bagi tegaknya politik berkeadaban untuk membangun Indonesia yang di cita-citakan. Sementara para aktor dan elitenya dengan ringan din dapat melakukan politik apa saja tanpa bingkai etika, moral keseimbangan, respek, toleransi, kejujuran, keterpercayaan, penghargaan, ketulusan, pengkhidmatan, keadaban, dan jiwa kesatria. Akibatnya, dunia politik di tangan para aktornya yang tamak dan tidak pernah akil-baligh itu menghasilkan Panorama Indonesia yang bak padang sahara yang kering dari sukma agama, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa. Sementara nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan Nusantara hanya sebatas menjadi narasi-narasi retorik yang diproduksi sekadar untuk membangun citra diri nan indah bak sayap burung merak di taman bunga Indonesia, minus aktualisasi yang bergaris-lurus antara idealita dan dunia nyata.

Politik liberal di negeri ini juga membawa jebakan baru pseudo-democracy, demokrasi semu. Meminjam pandangan Georg Sorensen, inilah yang disebut dengan frozen democracy. Suatu kondisi politik demokratik yang beku atau semu, yakni yang menikmati demokrasi ini hanya segelintir kaum elite atau kelompok tertentu saja, sementara mayoritas rakyat sekadar menjadi pemberi suara politik belaka tanpa memiliki akses yang leluasa untuk keputusan-keputusan penting dan strategis yang memangku hajat hidupnya. Politik oligarki dan oligarki politik yang menyatu dengan oligarki ekonomi merupakan buah dari demokrasi semu di Indonesia saat ini. Dalam kehidupan ekonomi terjadi kesenjangan sosial-ekonomi yang tetap melebar, di mana segelintir kecil orang atau kelompok menguasai kekayaan yang sangat besar, yang mengakibatkan mayoritas rakyat hanya mendapatkan kekayaan sangat sedikit di republik ini. Haedar Nashir, Hlm 13-14).

Politik Demokrasi; Menjaga Martabat Suara Rakyat

Pemilu dan pilkada hanya dijadikan satu stempel untuk memperoleh suara rakyat, tetapi setelah itu mereka sibuk bermanuver demi kekuasaan itu sendiri, mereka lupa bahwa hukum tertinggi dalam menjalankan kekuasaan itu adalah berada untuk menyelamatkan rakyat itu sendiri, sementara rakyat tidak selamat dari segi ekonomi, dari segi ketimpangan sosial yang besar, dan juga dari segi pendidikan, ini semua menjadi tanggungjawab elit politik kita, agar mereka menjadikan satu momen pemilu maupun pilkada sebagai sarana betul-betul untuk memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan mereka agar rakyat menjadi maju.(Sukidi PhD, Cendekiawan Muhammadiyah).

Paradigma Politik yang dipahami oleh pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi di negara ini, hanya semata-mata untuk mempertahankan, merebut dan mengganti peran aktor-aktor politisi yang haus akan hasrat kuasa sesaat, menjadikan pemahaman politik sebagai sarana untuk mata pencaharian, mencari nafkah dengan cara-cara cerdik licik, intrik politik, memicu gesekan konflik antar kepentingan dan terkadang muncul khianat (loncat pagar, kutu loncat, loncat sana-sini) pada peran tanggung jawab dan kewenangan politisi-politisi terkait menyangkut kebutuhan hajat hidup warga masyarakat luas. Pandangan pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi di Indonesia kini hanya berproses dan berjuang dengan mengatasnamakan rakyat, membela kepentingan warga masyarakat dan bekerja sesuai prosedur peraturan konstitusional. Padahal, dalam praktik realisasinya politisi' tersebut mencari cara untuk mengambil atau mencuri uang rakyat, mengalihkan dan eksploitasi dan membungkam suara kritis rakyat, serta diskriminasi kebutuhan rakyatnya. selain itu ketika berhadapan dengan konstituen warganya, politisi tersebut sebatas kerja simbolik, pencitraan dan bahkan melupakan atau mengabaikan (menutup mata, hati dan telinga nya) kondisi keluhan, aspirasi dan harapan hidup warga.

Selain itu, pemahaman pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi di negara ini memandang politik demokrasi sebagai sarana untuk meraih privilese keistimewaan/kemegahan, akses sosial politik, pendidikan agama, kesehatan dan sebagainya. Lebih-lebih menggunakan kekuasaan hukum sebagai senjata untuk membungkam, menindas dan membunuh karakter setiap politisi-politisi, aktivis pro demokrasi reformasi dan lingkungan, peran suara kritis mahasiswa. Mereka menggunakan hukum, kongkalikong dengan aparat penegak hukum sebagai alat menghukum dan menjebloskan lawan-lawan politik yang bersebrangan dengan penguasa melalui cara-cara otoriter, bengis dan kejam dihilangkan, diasingkan dan dipenjarakan.

Demokrasi kini hanya sebatas mengumbar janji-janji kosong lagi bohong, berucap manis-manis (lip service), menyihir emosi warga iming-iming bantuan sosial, perubahan rotasi pegawai disektor pemerintah, dan menjual narasi kaum muda hanya untuk meraup suara elektoral sesaat, menggandeng buzzer, pasang iklan baliho dimana-mana, numpang tenar wajah' politis, dan menggembar-gemborkan politik uang, melalui menjelang hari pencoblosan, menebar ketakutan (teror, stigma, labeling), ancaman, diskriminasi menegasikan sesama yang lain dekat hari perhitungan suara.

Politisi-politisi hanya bisa mengagungkan harta tahta dan hasrat kuasa sesaat sambil menindas rendahkan bahkan menipu manipulasi suara aspirasi warga masyarakat, tetapi melupakan abaikan hingga ancaman membungkam martabat suara kedaulatan rakyat. Bukankah dalam politik demokrasi konstitusional yang menjadi pedoman terpenting utama adalah gagasan, ide-ide dan program strategis antar setiap calon-calon kepala daerah, serta mengunjungi tinggi harkat martabat suara, independensi kedaulatan suara rakyat dalam memutuskan pilihan hak politiknya, pun keputusan hak politik warga masyarakat tersebut memiliki implikasi konsekuensi logis terhadap nasib, arah hidup dan hajat hidup warga dimasa kini dan kedepannya nanti, nasib terkait gagasan, ide-ide kreatif, impian serta keluhan aspirasi yang menjadi kebutuhan pokok untuk di realisasikan kepala daerah kepada konstituen atau warga masyarakat yang rentan terbelakang sosial ekonomi, terbelenggu fakir miskin, minimnya akses pendidikan kesehatan selama aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Demokrasi kini hanya di praktikkan secara prosedural elektoral, tetapi melupakan abaikan bahkan membunuh hancur leburkan hakikat spirit demokrasi yang substantif transformatif sebagai sarana untuk meraih dan mewujudkan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan warga masyarakat, agama membawa keadaban umat beragama, serta kemajuan negara dan bangsa.

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال