Hukum Kerja Sama Bisnis dalam Islam

Penulis: Maldi Nova


Hukum  bisnis  Islam  adalah  seperangkat  aturan  hukum  yang  berkaitan  dengan  aktivitas bisnis  yang  didasarkan  kepada  syariah  Islam.  

Dalam  konteks  di  Indonesia  maka  ia  juga mencakup seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan lembaga resmi lainnya dalam ruang lingkup bisnis Islami. 

Hukum bisnis Islam dalam khazanah Islam merupakan bagian dari fiqih muamalah, yaitu hukum-hukum dalam Islam yang mengatur mengenai interaksi antara satu manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan alam semesta. 

Saat ini fikih  muamalah  mengalami  penyempitan  makna,  yaitu  hukum-hukum  yang  berkaitan dengan  aktivitas  ekonomi  dan  bisnis  masyarakat  sehari-hari.  Dalam  materi  ini  kita  akan membahas hukum syirkah.  

Syirkah merupakan suatu perjanjian antara dua orang / lebih yang menghendaki tetapnya kerjasama  dalam  suatu  usaha  atau  perdagangan. Ulama  fikih  sepakat  bahwa  perkongsian ‘Inan dibolehkan sedangkan bentuk-bentuk lainnya masih diperselisihkan.   

Mekanisme Pembiayaan Syirkah dalam Lembaga Keuangan Syariah

a. Bank  dan  nasabah  masing-masing  bertindak  sebagai  mitra  usaha  dengan bersama-sama  menyediakan  dana  dan/atau  barang  untuk  membiayai  suatu kegiatan usaha tertentu.  

b. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut  serta  dalam  pengelolaan  usaha  sesuai  dengan  tugas  dan  wewenang  yang disepakati seperti melakukan review, dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dipertanggungjawabkan.  

c. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam nisbah yaang disepakati.  

d. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang waktu investasi kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.  

e. Pembiayaan atas dasar akad musyarakahdiberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan.  

f. Dalam  hal  pembiayaan  atas  dasar  akad  musyarakahdiberikan dalam  bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya.  

g. Dalam  hal  pembiayaanatas  dasar  akad  musyarakahdiberikan  dalam  bentuk barang,  maka  barang  tersebut  harus  dinilai  atas  dasar  harga  pasar  dinyatakan secara jelas jumlahnya.  

h. Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah,pengembalian dana dan pembagian  hasil  usaha  ditentukan  berdasarkan  kesepakatan  antara  bank  dan nasabah.  

i. Pengembalian  pembiayaan  atas  dasar  akad  musyarakahdilakukan  dalam  dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akhir, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad musyarakah.  

j. Pembagian  hasil  usaha  berdasarkan  laporan  hasil  usaha  pengelola  nasabah dengan disertai bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.  

k. Bank  dan  nasabah  dapat  menanggung  kerugian  secara  proporsional  menurut porsi modal masing-masing.  

Kajian Hukum Ekonomi Syariah  

Kaidah fikih yang menjadi dasar secara umum dari kegitatan muamalah yakni  QS. Al-Baqarah: 275;  

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ 275. 

Artinya: “Orang-orang  yang  makan  (mengambil)  riba  tidak  dapat  berdiri  melainkan  seperti berdirinya  orang  yang  kemasukan  syaitan  lantaran  (tekanan)  penyakit  gila.  Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual  beli   itu   sama   dengan   riba,   padahal  Allah   telah   menghalalkan   jual   beli   dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya  larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum  datang  larangan);  dan  urusannya  (terserah)  kepada  Allah.  Orang  yang  kembali (mengambil  riba),  maka  orang  itu  adalah  penghuni-penghuni  neraka;  mereka  kekal  di dalamnya.”  

QS. An-Nisa/4: 29;


 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا  29

        

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecualidengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”  

Keberadaan akad mudharabah dan musyarakah, memiliki manfaat baik dari sudut pandang Bank Syariah, maupun nasabah yang terbantu dengan adanya suntikan dana dalam usaha produktif yang dijalankan.  

Pandangan Ulama terhadap Bank Syariah  

1. Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A.  Menurut  beliau  kemunculan  Bank  Syariah  adalah  pertanda  kemauan  umat  Islam  untuk bangkit dan Bank Syariah saat ini sedang berusaha untuk menjadi syariah. Hal itu karena masih  ada  beberapa  aturan  BI  yang  belum  dapat  diubah.  

Kalimat  “menuju  syariah” menandakan  beliau  setuju  bahwa  saat  ini  bank  syariah  belum  sepenuhnya  sesuai  syariah tetapi bank syariah sedang berproses untuk menyempurnakan kekurangan tersebut menuju sepenuhnya syariah. Harapan beliau agar bank syariah terus dipantau bersama agar menjadi lebih baik.  

2. Ustadz Abdul Somad, Lc., M.A.   

“Menuju Syariah” itulah persepsi beliau terhadap kesyariahan Bank Syariah saat ini. Meski demikian  beliau  tak  ragu  untuk  beralih  kepada  bank  syariah.  Gaji  beliau  sebagai  dosen selalu ditransfer ke rekening beliau di bank syariah. 

Apabila ada yang menyatakan bahwa bank syariah dan bank konvensional sama saja menurut beliau hal itu termasuk sesat dan menyesatkan.  Karena  perbedaan  utama  Bank  Syariah  dan  non-syariah  adalah  pada  akad yang digunakan.  

3. Buya Yahya (Yahya Zainul Ma’arif)  

Buya Yahya mengibaratkan kehadiran Bank Syariah seumpama bayi yang dinanti-nantikan kehadirannya.  Namun  saat  lahir  ia  tidak  sempurna  alias  cacat.  Dalam  menyikapi  hal tersebut  umat  tidak  bisa menyingkirkan  begitu  saja  melainkan  harus  berusaha  untuk merawat  dan  menyempurnakan  sebagaimana  seorang  bayi.  

Seperti  itulah  Bank  Syariah, sebelum tahun 1991 masyarakat khususnya umat muslim begitu berharap akan kehadiran Bank Syariah. Kemudian Bank Syariah hadir dengan segala kelebihan dan kekurangannya.  

Bagaimanapun Bank Syariah sedang berupaya menjalankan syariah dan upaya berijtihad dalam  menjalankan  syariah  tidak  ada  yang  sempurna.  Menekankan  sebagai  kaum  yang beriman hendaknya kita mendukung dan mengangkat segala produk yang berkaitan dengan syariah. 

Dukungan  tersebut  tidak  hanya  dalam  bentuk  menggunakan  jasa  dan  produk syariah tetapi juga turut mengkritisi praktik-praktik yang menyimpang dari syariah.  

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال