Gus Ulil: Teologi Aswaja dan Asy’ariyah Dalam Konteks Modernisme Islam

Tahun 80-an adalah tahun yang tidak enak bagi para pengikut akidah Asy’ariyah. Kita tahu, salah satu proyek sosial politik pemerintah Orde Baru saat itu menggerakkan suatu proses sosial yang disebut dengan “modernisasi”. Karena dengan modernisasi inilah Indonesia bisa tumbuh ekonominya dan stabil secara politik bahkan menjadi negara yang modern.



Satu implikasi dari modernisasi sosial politik kian berlangsung (proyek ambisius yang dikerjakan pemerintahan Orde Baru) adalah, munculnya asumsi bahwa modernisasi bagian dari proyek positif ini menghadapi kendala dari masyarakat tradisional. Saat itu, umat Islam yang sebagian besar adalah pengikut Asy’ariyah (khususnya Nahdlatul Ulama) dipandang sebagai kelompok sosial kurang kondusif untuk mendukung modernisasi.

Bahkan, ironisnya, akidah Asy’ariyah dianggap (ini bukan tuduhan secara terus terang, hanya asumsi) sebagai sumber kemunduran umat Islam. Sebagaimana al-Ghazali dituduh sebagai sumber kematian filsafat, maka Asy’ariyah juga demikian (dan ini tak hanya di Indonesia, melainkan di banyak negara Islam mengalami proses serupa).

Kenapa demikian? Kata Gus Ulil, modernisasi adalah proyek sosial politik yang menjadi fenomena umum di negara-negara Islam pasca-kolonial. Ada yang agresif dan ada yang moderat. Tentunya, yang paling agresif adalah Turki dan di sejumlah negara-negara di Utara.

Tak heran, jika disejumlah perguruan tinggi Islam muncul diskusi-diskusi, terutama diskusi mengolek bahwa akidah Asy’ariyah menghambat pembangunan. Pun juga, ada persepsi bahwa akidah Asy’ariyah menekankan sikap fatalisme (menyerahkan diri kepada takdir Allah swt).

Itu sebabnya, lanjut Gus Ulil, pada tahun tahun 80-an tema mengenai takdir adalah tema yang sangat banyak didiskusikan. Salah satu sarjana muslim yang sangat kritis terhadap akidah Asy’ariyah adalah Prof. Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Maturidiyah lebih rasional dari Asy’ariyah.

Syahdan, setelah peristiwa tragis di New York yaitu pemboman menara WTC atau era perang atas terorisme menjadi paradigma yang menguasai banyak dunia, termasuk di dunia Islam, terjadilah perubahan drastis. Jika dulunya akidah Asy’ariyah tertuduh, sekarang justru dipuji dan mendapatkan sambutan hangat dimana-mana.

Di puji karena, akidah Asy’ariyah menjadi pusat sentral yang kuat dalam aspek toleransi dan moderatisme. Salah satunya adalah kampus Al-Azhar Kairo dalam beberapa tahun terakhir saat itu mengkampanyekan satu wacana tentang “Al-asy’ariyah Wasathiyah al-Islam” (akidah Asy’ariyyah dan moderatisme Islam).

Artinya, moderasi Islam saat itu pondasinya adalah akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lebih dari itu, tantangannya bukan lagi soal pembangunan, melainkan terorisme (dimana-mana soal perang atas radikalisme Islam). Berbanding terbalik, justru sekarang yang tertuduh adalah kaum Salafi.

Kita tahu, misalnya, satu doktrin penting yang sangat menonjol dalam akidah Asy’ariyah bahwa siapapun tidak boleh mengkafirkan orang yang shalat menghadap kepada kiblat. Konon, wasiat terakhir menjelang meninggalnya Abu Hasan Al-Asy’ari, pendiri akidah Asy’ariyah adalah “Saya tidak akan mengkafirkan siapapun yang shalat menghadap kiblat.

Hubungan Asy’ariyah dengan Muktazilah


Sudah mafhum, musuh besar Asy’ariyah dalam sejarah intelektualnya adalah kaum Muktazilah (kaum rasionalis). Tentunya, kalau kita baca literatur Asy’ariyah mengenai Muktazilah, bahwa ulama Asy’aryiah selalu bermusuhan dengan ulama Muktazilah. Dan menariknya, Muktazilah punya hubungan dekat meskipun tidak secara langsung dengan Syiah.

Karena memang, kalangan Muktazilah dalam perkembangan sejarahnya dekat dengan kalangan Syiah atas landasan fondasi dasar teologi (misalnya teologi Muktazilah dan Syiah pendekatan rasionalnya amat dekat. Intinya, kalangan Asy’ariyah dalam sejarah banyak bermusuhan dengan kaum Muktazilah.

Sekalipun demikian, kata Gus Ulil, kaum Asy’ariyah sedikit pun tak pernah mengkafirkan kalangan Muktazilah. Bahkan kalangan Asy’ariyah juga tidak pernah mengkafirkan orang-orang yang disebut dengan Mujassimah. Yaitu orang-orang yang mempercayai bahwa Tuhan itu punya tubuh (Jism), dalam hal ini serupa dengan manusia (antropomorfisme). Paling jauh yang dilakukan ulama Asy’aryiah adalah menganggap mereka Ahlul Bid’ah.

Sebenarnya, jika kita telisik, pendiri Asy’aryiah yaitu Abu Hasan al-Asy’ari pernah hidup dalam kubangan Muktazilah, rupanya karena ibunya pernah menikah dengan tokoh Muktazilah. Dan, sejak kecil selama 40 tahun Abu Hasan hidup dalam laku serta dibawah pengaruh ajaran bapak tirinya. Hingga akhirnya mengalami perubahan radikal dalam pandangan keagamaannya dan melawan terhadap Muktazilah.

Karena geneologis sejarahnya seperti ini, maka Muktazilah selalu menjadi bayang-bayang yang tak bisa dilepaskan dari pertumbuhan gagasan Asy’ariyah. Literatur Asy’ariyah sendiri banyak rujukan kepada muktazilah, akan tetapi rujukannya sebagai kritik. Karena itu, ketika ulama Asy’ariyah berpendapat, pasti akan ada keterangan “ini berbeda dengan pendapat mereka”. Mereka maksudnya adalah kalangan Muktazilah.

Bahkan, ulama Asy’ariyah ketika mengarang satu traktat atau kitab mengenai teologi, maka selalu membayangkan dirinya sebagai musuh yang sedang berdebat dengan Muktazilah. Jelasnya, siapapun tak akan paham Asy’ariyah jika tidak mempelajari Muktazilah.

Hubungan Asy’ariyah dengan Syiah


Menurut Gus Ulil, sebagaimana pandangan pada umumnya, tentu ada perbedaan mendasar antara Asy’ariyah dan Syiah, terutama dalam konsep Imamah. Yang menarik adalah, abad 20 kita menyaksikan suatu gerakan disebut dengan “al-taqrib baina al-mazahib” mendekatkan mazhab-mazhab fikih yang berbeda. Salah satunya adalah di Al-Azhar Kairo.

Kampus Al-azhar saat itu dibawah kepemimpinan Syeikh Mahmud Syaltut adalah inisiator dari gerakan al-taqrib baina al-mazahib, termasuk gerakan untuk mendekat dengan Syiah terutama mazhab fiqih Ja’fari. Sekali lagi, yang menggagas gerakan mendekatkan antara Syiah dengan Ahlussunnah Waljamaah adalah pengikut madzhab Asy’ari yaitu Mahmud Syaltut.

Jadi sebetulnya, kata Gus Ulil, akidah Asy’ariyah dari awal “gen” teologisnya adalah menghindari polarisasi mazhab, karena tujuan berdirinya akidah Asy’ariyah ingin menghindari polarisasi. Sehingga kecenderungan untuk moderat (wasathiyah) sudah melekat dalam akidah Asy’ariyah.

Inilah yang menjelaskan kenapa akidah Asy’ariyah di era perang atas terorisme muncul sebagai akidah yang dipuji banyak kalangan. Selain itu, salah satu dimensi penting dalam pengikut akidah Asy’ariyah, mereka juga mengikuti tasawuf (siapapun yang mengikuti akidah Asy’ariyah dengan sendirinya mengikuti ajaran tasawuf). Antara akidah Asy’ariyah dan tasawuf dua hal yang saling berkaitan. Dan di era terorisme keduanya dianggap sebagai sumbangan untuk melakukan deradikalisasi.

Lalu apa pondasi pokoknya?


Kata Gus Ulil, sebetulnya, inti dari akidah Asy’ariyah adalah mempertahankan akidahnya kaum Salaf. Akidah kaum Salaf (dalam teori sunni) adalah akidah yang diikuti oleh para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabiin. Salah satu inti akidah Salaf tentang Tuhan yang tidak sama dengan makhluk-Nya atau Tuhan yang transendental (yang dalam akidah Asy’ariyah dirumuskan dengan sifat Mukhalafatuhu Lil Hawadits).

Ini adalah sifat yang sangat penting sekali dalam perdebatan teologi klasik. Di anggap penting, karena di dalam menafsirkan sifat ini golongan Islam terpecah dalam berbagai kelompok. Ada kelompok yang percaya bahwa Tuhan tidak sama dengan makhluk-Nya sama, Ada juga yang percaya bahwa Tuhan punya sifat-sifat yang sama dengan makhluk-Nya.

Tak berhenti di sini, Gus Ulil menambahkan bahwa sifat-sifat ini harus di pahami sedemikian rupa, sehingga tidak mengesankan adanya kesamaan antara Tuhan dengan makhluk. Akidah ini memang agak sedikit repot ketika berhadapan dengan ajaran Ibnu Arabi. Mengingat, ajaran Ibnu Arabi cenderung pantheistik, dan para sufi pun sebagian besar juga pantheistik.

Alih-alih merepotkan, dalam pendekatan akidah Asy’ariyah ada dua pendekatan, pertama pendekatan tradisional ala akidah orang salaf (al-Qur’an dan Sunnah), dan kedua menggunakan pendekatan rasional.
Sebagai akhir dari tulisan ini, perlu juga di ketahui, dalam perkembangannya akidah Asy’ariyah, terutama setelah Fakhruddin al-Razi (musuh besarnya Imam At-Thusi), para ulama Asy’ariyah banyak mengadopsi metode filsafat dalam menjelaskan akidah Asy’ariyah. 

Tak heran, jika kita baca literatur-literatur Asy’ariyah setelah abad ke-13, semuanya berisikan filsafat. Tentu tak mudah memahaminya karena harus menguasai filsafat dan ajaran Ibnu Sina (Avincena).
Sementara itu, kita tahu bahwa Fakhruddin al-Razi sendiri adalah salah satu tokoh penting dalam perkembangan akidah Asy’ariyah. Penting, karena ia berhasil memasukkan unsur-unsur filsafat dalam menjelaskan akidah Asy’ariyah, teruma filsafat dan ajaran Ibnu Sina. Wallahu a’lam bisshawab.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال