Gus Ulil: Agama dan Sains dalam Pandangan Al-Ghazali

Oleh: Salman Akif Faylasuf *


Di berbagai percakapan belahan dunia termasuk di Indonesia, masalah hubungan antara agama dan teknologi mulai muncul kembali. Tentu tak lain karena dipicu oleh beberapa trend yang berkembang akhir-akhir ini. Salah satunya adalah dipicu oleh trend buku yang ditulis oleh Richard Dawkins yaitu “The God Delusion”.

Menarinya, buku itu sangat yang laris manis. Ia adalah kritik yang tajam terhadap agama dari sudut pandang sains. Kita tahu, Richard Dawkins adalah selain dikenal sebagai ahli biologi, ia juga dikenal sebagai orang yang mempopulerkan sains. Tapi terlepas dari Richard Dawkins, ada satu perkembangan yang menarik akhir-akhir ini yaitu, ada kesan bahwa agama dengan sains bertentangan.

Pun, ada kesan bahwa argumen-argumen yang didasarkan pada sains itu menafikan keberadaan Tuhan dan agama. Bahkan, menihilkan sama sekali peran agama. Parahnya, agama dianggap sebagai religi dari masa lampau yang tak lagi relevan dalam keadaan sekarang (karena klaim agama itu dibuktikan salah oleh sains). Terutama klaim-klaim agama yang berkenaan dengan penciptaan alam, asal-usul kehidupan, masalah biologi, kimia dan lainnya.

Kata Gus Ulil, sebetulnya isu hubungan antara agama dengan sains, bukanlah hal yang baru. Kita tahu, Al-Ghazali adalah ulama yang hidup pada abad ke-10 M dan awal abad ke-11 di Baghdad (kawasan Iran sekarang). Ini penting karena Al-Ghazali sebetulnya dalam kitabnya Al-Munqid Min Ad-Dhalal, beliau mengemukakan banyak pendapat soal bagaimana menempatkan agama dengan sains.

Tentunya, ulama Islam banyak sekali, namun penulis hanya akan fokus membidik Al-Ghazali. Bagi penulis, Al-Ghazali mempunyai pandangan khas, yang dalam hal ini meminjam istilah Gus Ulil, Al-Ghazali adalah seorang kiai. Meskipun pandangan intelektual (filosof) sudah banyak dikalangan muslim terhadap sains, akan tetapi bagi penulis, yang spesial dari Al-Ghazali adalah pandangannya didalam Al-Munqid Min Ad-Dhalal (atau yang lebih spesifik yaitu dalam kitab Tahafut al-Falasifah) itulah sebenarnya pandangan khas seorang kiai.

Bagaimana seorang kiai menanggapi keberadaan sains?

Apa yang disebut dengan filsafat pada era Islam zaman dulu sebetulnya identik dengan sains zaman sekarang. Karena, pada masa Al-Ghazali dan Ibnu Sina sekitar abad ke-9 masehi, antara sains dan filsafat adalah ibu dari segala ilmu (mother of all knowledge). Jadi ilmu yang tidak berbasis wahyu, semuanya berada dalam payung besar filsafat. Dan kita ketahui, dalam filsafat ada fisika, kedokteran, biologi (meskipun saat itu biologi mungkin belum berkembang seperti sekarang).

Itu artinya, istilah filsafat sebetulnya adalah istilah yang mencakup sains secara keseluruhan, sekalipun dalam istilah filsafat terkandung satu bagian yang disebut metafisika. Adalah pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat spekulatif, tidak ada kaitan dengan fisika, biologi dan lainnya. Jelasnya, ada unsur fisik, dan ada metafisik.

Gus Ulil mengatakan, ketika Al-Ghazali menanggapi filsafat, (sebenarnya) ia juga menanggapi sains dalam pengertian sekarang. Lalu bagaimana tanggapan Al-Ghazali? Al-Ghazali yang selama ini dikenal sebagai pembunuh filsafat (itu persepsi yang umum), berimbas terhadap dunia Islam saat itu tak lagi mempelajari filsafat.

Sama. Al-Ghazali juga ketika menanggapi filsafat (alias sains), ia membaginya dalam enam kategori. Ini membuktikan, bahwa ia tak menghakimi filsafat secara general, tapi secara jelas dengan terperinci (tafshili). Pertama, filsafat yang berkaitan dengan masalah ilmu riyadiyah atau ilmu yang terkait dengan matematika (terkait dengan angka dan ilmu yang bersifat astronomi). Kedua, ilmu yang terkait dengan prosedur berfikir (logika atau mantiqiyah). Ketiga, ilmu thabi’iyah atau fisik. Keempat, ilmu ketuhanan (ilahiyah) yaitu metafisika. Kelima, ilmu siyasiyah (ilmu politik). Keenam, ilmu filsafat etika (khuluqiah).

Enam bagian diatas sebenarnya sesuai dengan pembagian di dalam filsafat Yunani dulu,  yang kemudian dibawa masuk kedalam dunia Islam pada masa Al-Ma’mun, yaitu di era Abbasiyah. Dan, dipopulerkan oleh seorang sarjana besar yang bernama Al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Ghazali mengatakan, terkait dengan ilmu-ilmu riyadiyah dan mantiqiyah kita tidak bisa menolak.

Al-Ghazali juga menegaskan, bahwa menolak ilmu mantiq (logika) justru malah berbahaya. Karena, menolak ilmu logika dengan argumen karena ilmu tersebut berasal dari orang Yunani, justru akan menimbulkan citra buruk bagi agama. Akibatnya, persepsi yang tertanam adalah, kalau begitu menjadi beragama tidak boleh berpikir logis (menjadi muslim itu identik dengan menjadi tidak rasional).

Alih menolak, justru yang paling relevan dengan zaman sekarang adalah ilmu thabi’iyah. Dalam ilmu thabi’iyah, Al-Ghazali membagi para filosof secara detail dalam berbagai kategori. Ada pendapat-pendapat di dalam ilmu-ilmu fisika (menyangkut biologi. Sementara kimia belum berkembang ketika itu).

Kata Al-Ghazali, di dalam masalah fisika, pendapat para filosof dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, ada pendapat mereka yang kita tolak sepenuhnya karena bertentangan dengan aqidah Islam. Kedua, ada bagian dalam pendapat mereka yang tidak boleh kita kafirkan, tapi sekedar kita anggap sesat atau bid’ah. Ketiga, ada bagian-bagian yang bisa kita terima karena itu netral.

Tak hanya itu, lanjut Gus Ulil, Al-Ghazali juga mengatakan, ada tiga isu utama dalam pembahasan para filosof Yunani terkait fisika. Pertama adalah tentang qidamul alam. Jadi, para filosof zaman dulu yang dalam istilah sekarang kita sebut sebagai filosofi naturalis (berkecimpung bergulat dalam isu-isu ilmu-ilmu kealaman). Adalah pendapat mereka bahwa alam itu tidak punya permulaan sama sekali. Artinya, ada sejak dulu dan akan ada selamanya.

Mereka mengatakan bahwa, materi yang sesuai dengan materi itu sudah ada sejak zaman dulu dan akan ada selamanya, karena materi tidak akan punah. Sekalipun punah, dia kemudian bermutasi (reinkarnasi) menjadi sesuatu yang lain. Ini persis seperti hukum pertama dalam hukum termodinamik bahwa, energi dan materi tidak akan hangus dan tidak akan punah. Dia bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk lain.

Misalnya, kayu yang kita bakar akan menjadi bentuk yang lain yaitu “areng”. Para filosof Yunani berpandangan, materi tidak akan pernah punah. Meskipun mereka percaya bahwa, materi ini ada penyebab awalnya atau prima causanya (ada Tuhan dibaliknya). Sama sekali, mereka tidak mengingkari Tuhan. Hanya saja mengatakan bahwa materi itu ada sejak dulu dan akan ada selamanya.

Dalam masalah ini, para filosof Yunani itu pendapatnya tidak boleh diterima. Karena, kalau diterima sudah pasti bertentangan dengan prinsip dalam pemahaman Islam. Bahwa, kalau kita mengatakan alam itu abadi ke masa lampau ataupun abadi ke masa depan, berarti kita mengatakan alam itu sama abadinya dengan Tuhan. Secara tak langsung kita mengatakan ada dua Tuhan yaitu, Tuhan pencipta alam, dan yang diciptakan Tuhan. Keduanya abadi.

Termasuk juga yang ditolak Al-Ghazali adalah pendapat para filosof yang mengatakan Tuhan itu tidak mengetahui detail-detail informasi dalam alam raya ini. Tuhan itu seperti bos besar yang duduk di kursi hanya ngurus kebijakan besar, tapi tak mengurusi yang kecil, karena yang kecil-kecil itu urusannya para manager. Jelasnya, Tuhan hanya mengetahui kulliyat, tidak juz’iyat.

Hal ini tidak sesuai dengan aqidah Islam, karena dalam akidah Islam dikatakan Tuhan itu Maha Tahu (al-Ilm) dan mengetahui seluruhnya. Sebetulnya, kalau kita baca komentar Al-Ghazali mengenai isu-isu yang demikian, mengingatkan kita kepada Tuhan dalam konsepsi Spinoza.

Di dalam konsepsi Spinoza (disebut penganut panteisme-monistik), Tuhan digambarkan seperti tukang jam. Watak tukang jam adalah, ketika dia sudah selesai membikin Jam, dia tak lagi ngurusi jamnya, karena jam sudah berjalan sendiri mengikuti hukum internal dalam dirinya. Dalam ha ini, Tuhan sudah istirahat. Artinya, setelah menciptakan jam, Tuhan istirahat dan tidak lagi mengurus ciptaannya.

Ini memang pandangan Tuhan yang khas menurut para filosof. Tuhan itu tidak terlalu disibukkan dengan perkara terkecil. Akan tetapi kata Al-Ghazali, hal ini tak sesuai dengan aqidah Islam. Karena dalam aqidah Islam, Tuhan digambarkan sebagai Tuhan yang dekat dengan manusia, mendengarkan doa manusia setiap saat, bukan Tuhan filosof yang jauh sekali.

Pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita petik dari respon Al-Ghazali ini? 

Menurut Gus Ulil, Al-Ghazali sebetulnya tidak menolak seluruh filsafat Yunani yang terkait dengan masalah Thabi’iyat (fisika). Justru, Al-Ghazali hanya menolak beberapa bagian yang secara kontras dengan aqidah Islam. Kalau kita terjemahkan dengan konteks sekarang, kita tidak boleh menolak sains modern, karena sains modern bagian dari cara manusia memahami alam.

Sekali lagi, yang ditolak adalah pandangan atau asumsi filosofis yang berada dibalik sains. Misalnya, sains sebagai sains yang bisa dibuktikan secara ilmiah seperti, teori gravitasi newton atau teorinya Einstein mengenai relativitas khusus dan relativitas umum, atau teori fisika kuantum. Mengapa demikian? Karena semua teori yang sekarang sudah dibuktikan melalui eksperimentasi (ilmu yang sudah didukung oleh Burhan). Dan tak boleh menolaknya.

Meskipun, sebagian para saintis modern mempromosikan satu asumsi filosofis atau pandangan dunia yang mengatakan bahwa alam ini, realitas hanya fisik. Tidak ada realitas dibalik yang fisik ini. Karena itu, Tuhan menjadi sangat tidak relevan. Seorang Fisikawan teoritis dari Australia yaitu Stranger yang mengatakan Tuhan adalah file hipotesis (hipotesis yang gagal), karena tidak bisa menjelaskan fenomena alam ini.

Atau, dalam bukunya Stephen Hawking “The Grand Design” dia mengatakan, bahwa alam itu bekerja menurut hukum-hukum tertentu, dan tidak membutuhkan Tuhan untuk menjelaskannya. Tuhan tidak relevan sama sekali. Dan yang lebih ekstrimnya, menurutnya alam-alam ini hanya fisik saja (di luar yang fisik ini tidak ada).

Demikian itu, karena memang sains hanya bekerja dengan data-data empiris. Karena Tuhan tidak empiris, maka Tuhan tidak ada. Pandangan-pandangan seperti yang kita tidak bisa terima. Akan tetapi, kalau sains yang sebagai sains, yang dibuktikan secara ilmiah, kita terima semuanya. Baik dalam bidang fisika, astronom, biologi, kimia dan lain sebagainya.

Memang, kata Gus Ulil, Al-Ghazali ketika mengkritik filsafat begitu “fair”. Ia membedakan bagian mana dalam filsafat yang bisa kita pakai, yang harus ditunda dulu, yang ditolak sama sekali karena itu bukan bagian dari sains, tapi merupakan pandangannya para saintis. Dengan demikian, hamat penulis, pandangan Al-Ghazali seperti ini masih relevan kita pakai untuk zaman sekarang.

Tentang Teori Evolusi

Yang lebih menarik dari ini adalah tentang teori evolusi. Kita tahu, teori evolusi adalah pengungkap misteri-misteri bagaimana munculnya kehidupan makhluk organis yang beragam. Misalnya, kenapa ada tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia? Penulis mengira, awalnya semua makhluk itu di ciptakan secara independent.

Akan tetapi nyatanya, awalnya semua makhluk (dulu) asalnya adalah makhluk sederhana yang ber “sel tunggal”. Jadi makhluk yang sederhana berkembang menjadi makhluk yang kompleks disebut dengan teori evolusi (inilah variasi yang kemudian belakangan menjadi teori tentang mutasi gen yang menimbulkan banyak spesies).

Teori memang sangat keren dan memukau khalayak. Hanya saja, bagi penulis, ada bagian dalam revolusi yang problematis, yang mungkin kalau pakai istilah Al-Ghazali bertentangan dengan aqidah Islam. Apa itu? Bagian dari teori evolusi yang problematis adalah ketika Darwin sebagai pencetus teori evolusi mengatakan, bahwa evolusi makhluk yang dari makhluk sederhana menjadi makhluk yang kompleks.

Ia mengatakan, kita ini sebetulnya asal-usulnya sama dengan monyet. Karena kita berasal dari nenek-nenek moyang yang sama yaitu, berupa nenek moyang yang secara genetik kemudian berkembang menjadi kita-kita ini (bukan berarti kita berasal dari kera). Lalu masalahnya apa? Adalah, saat Darwin mengatakan evolusi ini adalah and directed. Jadi, dia berkembang secara alamiah, tidak ada tujuan random sifatnya, dan bahkan tidak ada Tuhan yang mengarahkan. Ringkasnya, Tuhan tidak terlalu penting di dalam proses evolusi ini.

Ketika kita mengatakan, bahwa evolusi itu berjalan secara alamiah, sangat betul jika penjelasannya murni penjelasan genetik, biologis. Semua hal itu berevolusi secara alamiah seolah-olah rendem tidak ada tujuan akhir. Dan, tidak diarahkan oleh semacam aktor yang menjadi penggerak utamanya. Iya betul. Namun, dalam pandangan agama, bahwa evolusi ini adalah murni kehendak Allah Swt.

Dengan demikian, hemat penulis, orang Islam perlu belajar dari orang-orang Katholik. Orang Katholik dulu menolak teori evolusi (termsasuk yang menolak juga adalah Harun Yahya. Ia termasuk orang yang mempopulerkan bahwa teori evolusi tidak bisa diterima dalam kerangka aqidah Islam secara total).

Namun, dalam hal ini, jika mengikuti teladan Al-Ghazali, tentu harus pilah-pilah mana bagian dari evolusi yang benar dan tidak. Hemat penulis, yang harus ditolak adalah bagian dari revolusi yang mengatakan bahwa evolusi ini tidak ada direktornya. Seolah ia bergerak secara alamiah.

Yang jelas, makhluk itu kalau dibiarkan berkembang secara alamiah, akan muncul menjadi beragam. Dan memang, dikalangan para biolog modern sendiri, teori evolusi ini juga dipersoalkan. Misalnya, bagaimana menginterpretasi data-data fosil yang berasal dari makhluk-makhluk zaman dulu? Para biolog mulai berdebat. Mereka mempertanyakan apakah teori Darwin tentang evolusi itu bisa menerangkan asal-usul kehidupan di muka bumi ini, dan apakah bisa menerangkan mengenai kehidupan secara umum.

Masih tentang persoalan antara agama dan sains. Bahwa hakikatnya tidak ada pertentangan antara agama dengan sains. Agama itu harus menggunakan sains, demikian sains juga perlu agama. Keduanya harus saling mendukung dan tidak boleh memakai salah satu. Karena Islam sejak awal menganjurkan kepada para pemeluknya untuk mempelajari alam raya ini. Lebih dari itu, sains mengajarkan kita tentang bagaimana alam raya ini bekerja.

Penting juga di catat adalah soal perdebatan antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd tentang masalah keabadian alam. Rupa-rupanya, secara tidak langsung, pendapat Al-Ghazali didukung oleh sains modern. Ini di buktikan bahwa, pada tahun 1927 ada temuan penting dari seorang astronom Amerika yaitu Edwin Habel.

Bahwa, ternyata alam raya ini melalui teleskopnya Edwin Habel berkembang. Ia melihat bahwa posisi bintang itu tidak sama. Itu artinya dia berkembang terus. Hingga akhirnya dia berkesimpulan, alam raya ini itu tidak statis (letak bintang tidak berdiam diri sepanjang zaman). Ternyata dinamis.

Berangkat dari hal ini, Edwin Habel mengenalkan satu teori mengenai “expanding universe” bahwa alam raya itu berkembang. Jika alam raya itu berkembang (sesuatu yang berkembang pasti mempunyai awalan) mungkin persis balon. Balon yang semula kecil ketika ditiup akan mengembang, dan mengembang hingga seterusnya. Wallahu a’lam bisshawaab.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Ponpes Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال