Apakah Perlu Memikirkan Palestina Sedangkan Negara Sendiri Masih Susah ?

Penulis: Yasmin Putri Fathimah, Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta.


Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi tentang prioritas kepedulian kita: Mengapa kita harus memikirkan Palestina sementara masalah dalam negeri sendiri belum terselesaikan? 

Kita perlu melihat sejarah, pada tahun 1945 diawal-awal Indonesia merdeka, Palestina merupakan negara yang pertama kali mengakui keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahkan  sebelum  Indonesia  resmi  merdeka.  

Seperti  yang  kita  ketahui,  Indonesia memproklamasikan kemerdekaan secara de facto pada 17 Agustus 1945. Untuk menjadi negara yang berdiri utuh (de jure), maka Indonesia membutuhkan pengakuan dari negara lain.  

Dikutip dari buku yang berjudul “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri”, Palestina telah  mengakui  kemerdekaan  Indonesia  disaat  negara-negara  lain  belum  memberikan pengakuannya. 

Pengakuan ini dipaparkan saat Indonesia masih dijajah oleh Jepang. Pada September tahun 1944, Mufti Besar Palestina bernama Syeikh Muhammad Amin Al-Husaini mengakui  dan  mendukung  kemerdekaan  Indonesia  sebelum  negara-negara  yang  lain memberikan dukungannya. 

Pengakuan oleh mufti Besar Palestina ini diumumkan melalui radio Berlin dengan bahasa Arab.   Jika mereka (Palestina) di tahun 1945 berkata “Apakah kita perlu memikirkan Indonesia, sedangkan Negara sendiri saja  masih susah?”, mungkin kemerdekaan kita akan tertunda, terjegal dan akan sulit mendapat pengakuan dunia. 

Sebab, ulama Palestina berperan penting dibalik pengakuan negara-negara Arab atas Indonesia, salah satnya Mufti Amin Al-Hussaini. Saat  mendesak  Mesir  dan  negara-negara Arab  untuk  mengakui  kemerdekaan Indonesia, sebenarnya saat itu Palestina sedang tidak baik-baik saja dan mengalami konflik dengan bangsa Yahudi. 

Konflik ini disebabkan karena bangsa Yahudi ingin mendirikan National Home nya ditanah Palestina. Yahudi menganggap Palestina sebagi tanah yang dijanjikan. Dalam hal ini Yahudi menyakini bahwa Yerussalem harus kembali menjadi Ibukota bangsa Yahudi serta harus mengembalikan hak dari bangsa Yahudi yang selama ini tertindas. 

Penduduk Yahudi berdatangan ke Palestina dan  meneror penduduk setempat.  Meskipun begitu, Palestina tetap bersuara untuk membela dan menyuarakan Indonesia. Dan apakah  tega  jika  di  benak  kita  masih  timbul  pernyaan  “Ngapain  harus  mikirin  Palestina sedangkan negara sendiri saja belum benar?”

Salah satu alasan mengapa kita perlu membela palestina, adalah karena kita perlu tahu diri, kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat, pandai membalas budi dan ingat akan jasa/kebaikann seseorang. 

Palestina dulu sudah membantu kita walaupun dirinya sedang tidak baik-baik saja, apakah kita akan sebaliknya? Kepedulian terhadap Palestina juga mengajarkan kita tentang pentingnya solidaritas global. 

Dalam dunia yang semakin terhubung, masalah satu negara dapat berdampak  pada  yang  lain.  Dengan  menunjukkan  solidaritas  kepada  Palestina,  kita mengirimkan pesan bahwa ketidakadilan di manapun adalah ancaman terhadap keadilan di mana saja. 

Kita belajar untuk berdiri bersama dalam melawan ketidakadilan, memperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang kita junjung tinggi. Lalu begaimana kita dinegara yang aman ini dapat membantu Palestina yang sedang terjajah? 

Di  Indonesia  sendiri  terdapat  beberapa  komunitas  bantuan  kemanusiaan  yang  membantu dengan mengirimkan relawan-relawannya untuk terjun langsung ke tempat konflik, tentunya dengan persyaratan yang ketat. 

Namun, untuk membantu saudara kita di Palestina kita dapat membantu tanpa terjun langsung ke daerah konflik yaitu yang pertama dengan cara tidak membeli produk yang terafiliasi digunakan untuk membantu Israel, atau dikenal dengan istilah “boikot”. Banyak produk dari merk lain yang dapat menggantikan produk dengan merk yang terafiliasi. 

Jika produk yang terafiliasi merupakan produk untuk memenuhi kebutuhan yang tidak  terlalu  penting,  maka  sebaiknya  kita  tidak  membeli  produk  tersebut  atau  mencari pengganti alternatifnya dengan cara membeli produk lokal/produk buatan Indonesia. 

Boikot juga memberikan dampak yang baik, untuk membantu perekonomian dalam negeri dengan membeli produk-produk buatan dalam negeri.  Cara  yang  kedua  adalah  memberi  sumbangan  atau  donasi  untuk  warga  Palestina.  

Untuk memberi sumbangan/donasi, kita dapat menyumbangkan melalui organisasi kemanuasiaan yang sudah terverifikasi dan terpercaya.  Sebelum berdonasi kita perlu memastikan bahwa organisasi tersebut merupakan organisasi yang sudah mendapat izin dari pemerintah untuk menghindari adanya penipuan yang mengatasnamakan bantuan untuk Palestina. 

Pada  akhirnya, memikirkan  Palestina  memperkuat  rasa  kemanusiaan  kita,  bukan  hanya  soal agama melainkan soal rasa kemanusiaan. Ini bukan tentang mengorbankan perhatian terhadap masalah dalam negeri, tetapi tentang memperluas kepedulian kita dan menunjukkan bahwa kita peduli  terhadap  penderitaan  manusia  di  manapun  mereka  berada.  

Dengan  memperhatikan masalah  Palestina,  kita  tidak hanya  membantu  mereka  yang  membutuhkan,  tetapi  juga membangun masyarakat yang lebih adil, peduli, dan penuh empati.  

Jadi,  meskipun  negara  kita  sendiri  menghadapi  berbagai  tantangan,  memikirkan  Palestina adalah cerminan dari komitmen kita terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini adalah panggilan untuk  peduli,  belajar,  dan  bertindak  dalam  solidaritas  global,  yang  pada  akhirnya  juga memperkaya nilai-nilai kemanusiaan kita sendiri.  

Referensi: 

Hassan, M. Zein. (1980). Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang. Cetakan Pertama. 

Fakhruddin, E. P. N. M. (2019). Deklarasi Balfour : Awal Mula Konflik Israel Palestina. Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah, 1(1), 16.      

Editor: Adis Setiawan

Redaksi

Redaksi Kuliah Al Islam

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال