Titik Temu Soal Tahlilan Antara Muhammadiyah dan NU

KULIAHALISLAM.COM - Berbicara soal tahlilan, seolah menjadi perdebatan yang berulang dan tak berujung. Pihak pro dan kontra tak lelah untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Inti dari argumen pihak pro tahlilan adalah tahlilan itu boleh bahkan dianjurkan. Sebaliknya pihak yang kontra tahlilan bersikeras bahwa tahlilan adalah bid’ah yang dilarang agama. 

Dalam konteks ormas Islam yang dominan di Indonesia, pihak pro tahlilan diwakili oleh Nahdlatul Ulama. Sementara itu yang anti tahlilan diwakili oleh Muhammadiyah. Terlepas dari dinamika di lapangan yang tidak sederhana, misalnya bisa saja kita menemukan warga Muhammadiyah yang tahlilan, atau sebaliknya. Namun pandangan resmi dua ormas ini cukup jelas bahwa NU membolehkan sementara Muhammadiyah tidak memperbolehkan. 

Namun pertanyaan yang muncul dalam benak penulis adalah:

Benarkah pertentangan NU dan Muhammadiyah dalam soal tahlilan sehitam putih itu? Adakah wilayah abu-abu yang bisa menjadi titik temu antara kedua pihak? 

Penulis ingin mencoba menguraikan lebih detail pandangan dua ormas Islam ini baik dari putusan resminya maupun dari pendapat para kadernya yang otoritatif untuk dijadikan rujukan. Penulis menduga jangan-jangan selama ini kita selama ini terlalu menyederhanakan pembahasan menjadi soal boleh dan tidak boleh saja. Padahal ada ruang yang lebih luas yang perlu kita ketahui. 

tahlilan antara nu dan muhammadiyah

Apa Itu Tahlilan?

Kita perlu terlebih dahulu menyamakan persepsi kita soal tahlilan. Agar tidak terjadi perdebatan yang membuang waktu. Secara sederhana, tahlilan artinya membaca tahlil yakni kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah yang artinya tiada Tuhan selain Allah. Tentu tak ada yang salah dengan tahlil dalam arti sederhana ini. 

Namun saat kita menyebut tahlilan, maka yang dimaksud adalah seperangkat upacara yang dilakukan ketika seorang muslim meninggal. Ada beberapa aspek yang dilakukan dalam kegiatan tahlilan:

1. Membaca surat yasin dan tahlil

2. Bersedekah atas nama mayit dengan membagikan makanan kepada yang hadir

3. Dilakukan pada waktu-waktu tertentu, misalnya 3,7,40,100 dan 1000 hari. 

3 Aspek di atas yang membuat tahlilan berbeda dengan ta’ziyah yang disepakati kebolehannya. Dimana ta’ziyah intinya adalah kunjungan kepada keluarga yang meninggal untuk mendoakan dan berduka cita. 

Tahlilan Menurut NU

Dalam tulisan yang berjudul hukum tahlilan menurut 4 mazhab yang dimuat di NU Online, Husnul Haq pengasuh pesantren mahasiswa Manba’ul Arif dan Dosen IAIN Tulungagung mengulas hukum tahlilan menurut 4 mazhab fikih. 

Pertama beliau menjelaskan hukum menghadiahkan bacaan Al Qur’an dan kalimat thayyibah untuk mayit. Jumhur ulama seperti Syaikh Zaila’I dari mazhab Hanafi, Syaikh Dasuqi dari mazhab Maliki, Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’I dan Syaikh Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali sepakat bahwa  hadiah pahala dari membaca Al Qur’an dan kalimat thayyibah sampai kepada mayit. Bahkan beliau mengutip Ibnu Taimiyah yang menyatakan hal serupa. 

Namun Husnul tidak memungkiri bahwa sebagian ulama mazhab Maliki seperti Al Qarafi dan Ibnu Abi Jamrah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada mayit. Maka persoalan ini termasuk bagian dari khilafiyah para ulama. 

Kedua, terkait pengkhususan waktu tahlilan, Husnul berdalil dengan hadits Ibnu Umar ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalaniy menjadikan hadits tersebut sebagai dalil kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah tertentu. Menurut Husnul, hal yang sama bisa diterapkan dalam tradisi tahlilan. Maka tidak masalah jika dikhususkan pada 3,7,40,100 atau 1000 hari. 

Ketiga, tentang bersedekah untuk mayit, Husnul berdalil dengan hadits sebagai berikut:

Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”

Imam Nawawi berpendapat bahwa hadits tersebut menjadi dasar kebolehan dari sedekah untuk mayit. Husnul lalu mengambil kesimpulan secara umum bahwa tahlilan hukumnya boleh berdasarkan uraian di atas, 

Namun yang menarik adalah, keputusan resmi Muktamar NU tahun 1926 tentang tahlilan. Muktamar NU tersebut menyatakan tahlilan makruh dengan menampilkan 2 kitab. Pertama dari kitab I'anah Ath-Thalibin yang menghukumi makruh. Kedua dari kitab Fatawa Fiqhiyah Al-Kubra yang juga menghukumi makruh namun ada 'ruang' diperbolehkan.

Dalam Fatawa Fiqhiyah Al-Kubra 2/7 karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami:

“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

Ibnu Hajar menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bidah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh), kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (bisa jadi haram).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menghindari perkataan orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan. Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

Sebagian pihak yang kontra tahlilan menjadikan keputusan muktamar NU tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya NU melarang tahlilan. Namun Kiai Ma’ruf Khozin dari Aswaja Center Jawa Timur berpendapat bahwa fatwa tersebut menyebut makruh, bukan haram. Ma’ruf Khozin menambahkan bahwa Muktamar NU ke-2 masih di masa hidupnya Rais Akbar NU. Andaikan haram maka sudah pasti Rais Akbar NU, KH Hasyim, Asy'ari juga mengharamkan. Nyatanya beliau tidak mengharamkan. 

Kiai Ma’ruf Khozin mengutip fatwa Syaikh Hasyim Asy’ari sebagai berikut: “Jika anda mengetahui apa yang telah disebutkan (tentang 5 macam Bid’ah), maka anda akan mengetahui tentang tuduhan “Ini adalah bid’ah”, seperti menggunakan tasbih, mengucapkan niat, TAHLIL KETIKA SEDEKAH UNTUK MAYIT DENGAN MENGHINDARI HAL-HAL YANG DILARANG, ziarah kubur dan sebagainya, BUKANLAH BID’AH.” (Risalah Ahlu Sunnah wal Jamaah hal. 8)

Tahlilan Menurut Muhammadiyah

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak percaya bahwa pahala bisa dihadiahkan bagi orang yang sudah wafat. Dalam tulisan Bisakah Menghadiahkan Pahala bagi orang yang sudah wafat yang dimuat dalam situs Muhammadiyah.or.id, disebutkan dalam Fatwa Tarjih yang tertera di buku Tanya Jawab Agama jilid IV disebutkan bahwa perbuatan di atas (menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah wafat) tidak ada tuntunannya dalam Agama Islam. 

Dalam Agama Islam tidak ada ajaran yang menjelaskan atau membolehkan menghadiahkan pahala bagi orang yang sudah meninggal dunia. Kalaupun ada orang yang berpendapat bahwa pahala itu bisa dihadiahkan kepada orang sudah meninggal dunia, maka pendapat itu jelas bertentangan dengan ayat al-Qur’an,

Allah berfirman dalam QS. Al Isra’ ayat 15:

“Barang siapa yang berbuat sesuatu dengan hidayah (Allah) maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri: dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”

Dalam QS. An Najm ayat 38 dan 39, Allah tegaskan: “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

Kemudian dalam soal penentuan waktu-waktu tahlilan, Muhammadiyah juga menolak hal ini. Landasannya adalah dalam soal ibadah mahdah, Muhammadiyah mengharuskan sebuah amalan mempunyai dalil yang shahih dan spesifik. Jika tidak ada dalilnya, ataupun jika dalilnya kurang kuat, maka Muhammadiyah tidak berhujjah dengan dalil tersebut. 

Selanjutnya soal bersedekah atas nama mayit, Muhammadiyah berpandangan bahwa ahli waris tidak berkewajiban bersedekah atas nama mayit. Yang wajib adalah melunasi utang-utangnya dan mengurusi jenazahnya dengan harta peninggalannya. 

Namun Muhammadiyah tidak menolak disyariatkannya sedekah atas nama mayit dan pahalanya akan sampai kepada mayit karena berlandaskan hadits shahih. 

Titik Temu Tahlilan Antara NU dan Muhammadiyah

Dari uraian di atas, sangat jelas banyak sekali titik tengkar antara Muhammadiyah dan NU dalam soal tahlilan. Namun penulis ingin menawarkan beberapa titik temu yang bisa sedikit mengurangi gesekan di lapangan. 

Pertama, berdasarkan sumber yang otoritatif, hukum tahlilan di NU adalah mubah bahkan ada yang berpendapat makruh. Paling jauh hukumnya sunnah. Tolong jangan dijadikan seolah wajib. Implikasinya akan berbeda antara sunnah- mubah-makruh dengan wajib. Mubah-makruh-sunnah meniscayakan kawan-kawan NU akan lebih santai kepada orang yang tidak tahlilan. Sebaliknya kalau wajib, maka warga NU akan memusuhi yang tidak tahlilan. 

Persoalannya seringkali persoalan hukum ini di masyarakat kalah oleh tradisi yang sudah kadung mengakar. Ada yang tidak tahlilan, maka dimusuhi ramai-ramai. Hal ini bukan berasal dari hukum fikih. Kalau berlandaskan fikih ya santai, wong tahlilan itu mubah atau sunnah kok. Bukan wajib. Sayangnya seringkali kawan-kawan nahdliyin menerima begitu saja tradisi masyarakat dan tidak ditimbang dengan tradisi fikih NU sendiri. 

Kedua, NU dan Muhammadiyah sepakat bahwa mengadakan tahlilan sampai harus berutang atau pinjam uang itu haram. Ini yang jarang diingatkan oleh warga nahdliyin. Terjadi pembiaran di masyarakat kepada orang tidak mampu untuk memaksakan diri tahlilan. Lagi-lagi pelakunya adalah sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan tradisi. 

Mahbib Khoiron dalam situs NU Online mengatakan: 

Meskipun demikian, sekali lagi kita harus mengingat bahwa bersedekah dengan mengadakan jamuan makan pada saat tahlilan itu hukumnya adalah sunnah belaka. Bukan wajib. Oleh karena itu, tidak boleh memaksakan diri. 

Dalam pandangan syariat, niat baik melakukan kesunnahan ini bisa menjadi makruh, bahkan bisa menjadi haram, jika dilaksanakan tidak sesuai dengan konteks. Demikian pula halnya dengan jamuan makan pada saat tahlilan akan menjadi makruh hukumnya apabila dirasa hal tersebut memberatkan bagi ahli waris mayit hingga mereka sampai berutang hanya untuk mengadakan jamuan makan tersebut.

Bahkan bisa juga menjadi haram semisal apabila jamuan makan yang diberikan berasal dari harta yang haram, membuat utang-utang mayit tidak terbayarkan, atau menyita harta waris yang seharusnya dipertuntukkan bagi anak yatim.

Warga Nahdiyin selayaknya bisa memberikan edukasi tentang hal ini. Jangan sampai kalah oleh budaya komunalisme yang destruktif di masyarakat. Khususnya di pedesaan. 

Ketiga, bagi warga Muhammadiyah pun meski tidak meyakini tahlilan sebagai kewajiban, bahkan mengharamkannya, namun hendaknya tetap menjaga hablun minannaas dan muamalah ijtima’iyah. Bisa saja tetap datang untuk menghormati. Kalaupun tidak ikut tahlilan, tetap bertakziyah di kesempatan lain. Jangan sampai persoalan tahlilan dan tidak tahlilan menjadi sumber perpecahan di masyarakat. 

Barangkali kenapa muncul keyakinan bahwa tahlilan itu wajib di NU, salah satunya karena adanya “serangan” yang tidak proporsional dari yang kontra tahlilan. Akhirnya tahlilan menjadi semacam politik identitas, pokoknya warga NU wajib tahlilan, padahal aslinya hukumnya tidak wajib. 

Maka kalaupun mau diadakan perdebatan soal ini, hendaknya tidak dilakukan sembarangan di masyarakat. Melainkan di forum-forum ilmiah yang kondusif untuk berbeda pendapat. 

Keempat, warga Muhammadiyah pun perlu merinci hukum-hukum perbuatan dalam tahlilan satu per satu. Sehingga bisa dipilah mana yang masih boleh secara syariat mana yang memang tidak boleh, setidaknya menurut pemahaman Muhammadiyah. 

Contohnya seperti di atas, saya menemukan bahwa kalau menghadiahkan bacaan al quran dianggap tidak sampai ke mayit, namun kalau sedekah dianggap sampai pahalanya kepada mayit. Hal ini menarik, karena dua perbuatan yang berbeda, implikasi hukumnya berbeda, karena dalilnya berbeda. 



Robby Karman

Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Institut Agama Islam Tazkia Bogor.

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال