Seni Hidup Manusia Berakhlak Mulia Dalam Islam (1)

(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam)

KULIAHALISLAM.COM - Pandangan hidup pribadi muslim ialah sebagai makhluk yang mengabdikan diri dalam arti seluas-luasnya, baik sebagai hamba Allah (QS. [51]: 56) maupun sebagai khalifah-Nya (QS. [2]: 30); sebagai pewarispewaris di muka bumi (QS. [27]: 62), yang menerima amanah (QS. [33]: 72). Dalam pengabdian itu ia mengikuti petunjuk dan suri tauladan Nabi Muhammmad SAW. (QS. Al-ahzab: 21) yang menjadi rahmat bagi segenap alam (QS.[21]: 107). Dengan pengabdian itu setiap pribadi berupaya mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Menurut ajaran Islam, atribut inti dari makhluk manusia adalah akhlak, yang mencakup pemilikan kesadaran diri, pengarahan diri, kehendak dan intelek kreatif. Pada sisi lain, manusia diketahui memiliki dimensi jasmani, akal, dan roh. Sementara Al-Gazali (dalam Muhaimin, 1993) mengklasifikasikan kepada: dimensi diri, dimensi sosial, dan dimensi metafisik. Islam adalah suatu ajaran yang memberikan tuntunan dalam menghasilkan sikap dan prilaku yang benar bagi manusia itu, sehingga tujuan menempatkan manusia dalam kehidupannya sebagai makhluk yang bermartabat mulia, sesuai dengan fitrahnya, akan dapat tercapai.
Oleh karena itu, ajaran akhlak menemukan bentuknya yang sempurna pada ajaran agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mangajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengakui; bahwa Dia-lah Rabbul’alamin. Juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Konsep Islam tentang akhlak sungguh luas karena mencakup seluruh kepribadian dan kahidupan manusia.

Berakhlak mulia itu dalam ajaran Islam adalah orang yang dipujikan Allah swt. dan ditinggikan derjatnya. Orang yang berakhlak mulia itu adalah orang yang sukses, sehat dan bahagia hidupnya. Setiap pribadi semestinya memiliki akhlak yang mulia, agar terwujud pembangunan manusia seutuhnya. Dalam ajaran Islam, pribadi dan sepak terjang Rasulullah SAW. adalah manifestasi dan realisasi dari ajaran-ajaran Alquran, yang di dalamnya terkandung sumua sifat-sifat Tuhan. Siti ‘Aisyah, dalam menerangkan sifat-sifat Rasulullah SAW. dengan ringkas tetap berkata: ”akhlak Rasulullah saw. ialah Alquran” (Hamka,1982;I:70, Humaidi Tatamangarsa, 1980:16-7). Lebih dari itu al Qur’ān sendiri telah dengan tegas menyatakan bahwa Rasulullah saw. adalah sebagai panutan/ikutan yang baik. (QS. al Ahzab, 33:21). Dalam sejarah tercatat, selama hidupnya beliau senantiasa membantu orang lain, dan sangat peduli terhadap penderitaan orang lain.

Sahabat pernah bertanya pada Nabi tentang inti agama sebagai berikut: Hai Nabi! Apakah inti agama itu (mā ad-dān)? Pertanyaan ini ditanyakan sahabat kepada Nabi sebanyak empat kali. Tiga kali Nabi menjawab pertanyaan itu dengan “akhlak yang baik” (husnul-khulūq). Sedang jawaban keempat Nabi memberikan “amā tafqahu, wahuma ′allā taghdhab!” (Ahmad bin Hambal: 1981). Jawaban ini hakikatnya juga akhlak, yakni agar orang jangan cepat emosi. Dalam menjawab tentang hakikat (inti) agama, Nabi saw., ada yang  mengatakan bahwa agama itu adalah nasehat menasehati (al-dīnul nashīhah), agama itu adalah muamalah (al-dīnul mu’amalah), agama itu adalah iman (al-dīnul īmān), akhlak itu tandan kesempurnaan iman (akmalul mukminīna īmānan ahsanuhum khuluqan), akhlak itu wadah agama (akhlaqu wi’āuddīn), dan bahwa kebahagiaan seseorang itu terletak pada akhlaknya yang baik (min sa’ādatil mar′′i husnul khuluq), (Muhammad Mawardi, Jawahir al Hadis, t.t.). Nabi sendiri menegaskan bahwa aku diutus menjadi Rasul adalah bertugas untuk menyempurnakan akhlak manusia (innamā bu’istu liutammima makārimal akhlāq(Hambal, 1981). Disamping itu pribahasa (Syauqy) mengatakan pula bahwa “Tegaknya suatu umat itu karena akhlak baiknya dan apabila akhlaknya rebah maka rebah pulalah umat (bangsa) itu” (Asmaran, 1992). Dengan demikian, bahwa akhlak itu adalah ajaran dasar agama Islam yang wajib diketahui, dipahami, dihayati, dan diamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, serta dibiasakan sejak dini baik secara pribadi maupun secara sosial sebagai seorang Islam.

Konsep Akhlak Menurut Islam

Kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak, menurut Quraish Shihab (2000), walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabi’at, perangai, kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Alquran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggalnya yaitu khuluq yang tercantum dalam QS. Al-Qalam 68: 4, dan al-Syu’ara’ 26:137. Artinya: Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. Al-Qalam, [68]: 4).

Artinya: (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. QS. al-Syu’ara’ 26:137). Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi saw., dan yang paling popular diantaranya adalah, Artinya: Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Sehubungan dengan makna ini, Muhaimin (1994) mengemukakan bahwa pengertian akhlak secara etimologis berasal dari kata khuluq dan jama’nya akhlaq, yang berarti budi pekerti, etika, moral. Kata khuluq mempunyai kesesuaian dengan khilqun, hanya saja khuluq merupakan perangai manusia dari dalam diri (ruhaniyah) sedang khilqun merupakan perangai manusia dari luar (jasmaniah). Term khuluq juga berhubungan erat dengan Khaliq (Pencipta), dan makhluq (yang diciptakan).
Pengertian etimologis tersebut berimplikasi bahwa akhlak mempunyai kaitan dengan Tuhan pencipta yang menciptakan manusia, luar dan dalam, sehingga tuntunan akhlak harus dari Khalik (Tuhan Pencipta), dan juga persesuaian kata dengan makhluk yang mengisyaratkan
adanya sumber akhlak dari ketetapan manusia bersama, sehingga dalam hidup manusia harus berakhlak yang baik manurut ukuran Allah dan ukuran manusia. Hal ini memberi pengertian, bahwa apapun fungsi seorang muslim, harus berakhlak Islam dalam kehidupannya. Dalam hal ini ajaran Islam telah menyatakan bahwa, yang menjadi suri teladan bagi setiap orang Islam ialah pribadi Rasulullah SAW. sebagaimana tersebut dalam Alquran surat 33 al-Ahzab ayat 21. Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab [33]: 21).
Muhammad Al-Gazali, dalam bukunya Ihya ‘Ulumuddin (1980) menyebutkan bahwa akhlak itu berhubungan erat dengan soal kejiwaan. Kalau jiwa itu merupakan hakikat yang hakiki dari manusia, maka penyimpangan dari akhlak yang mulia berarti penyimpangan dari esensi kemanusiaan. Akhlak itu tidak dapat dipisahkan dari soal kejiwaan. Akhlak itu dapat diibaratkan sebagai hai’ah (sikap, sifat) yang melekat pada jiwa yang darinya timbul af’al (perilaku) dengan mudah tanpa hajat kepada pemikiran dalam melakukannya, dalam arti sudah menjadikebiasaan. Oleh sebab itu dikatakan bahwa akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari sifat itu timbul perbuatanperbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
Apabila hai’ah jiwa itu bersesuaian dengan akal dan syari’at, maka jiwa akan melahirkan af’al yang baik dan itu disebut akhlak mulia. Sebaliknya apabila hai’ah jiwa itu melahirkan af’al yang buruk dan itu dinamakan dengan akhlak yang jahat.

Menurut Ahmad Amin (1990), akhlak adalah “adabul-iradah” atau kehendak yang dibiasakan. Kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan sesudah bimbang, sedang kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah dikerjakan. Jika kehendak itu dikerjakan berulang-kali sehingga menjadi kebiasaan, maka itulah yang kemudian berproses menjadi akhlak. Setiap akhlak mulia yang dikenal oleh fitrah dan akal sehat, individu dan masyarakat dapat hidup secara bahagia dengan dominasinya, maka Islam menyetujuinya, memerintahkan dan menganjurkannya. Sedangkan setiap perbuatan nista yang ditentang oleh fitrah dan akal yang sehat, ajaran Islam hadir untuk mengingkarinya dan mengecamnya.
Akhlak menurut Alquran termasuk diantara karakteristik dasar orang-orang beriman dan bertakwa, yang mana tidak akan masuk surga, tidak akan selamat, serta tidak akan mendapatkan kebahagiaan hakiki dalam kehidupan, orang-orang selain mereka. Sedang menurut sunnah Nabi, akhlak termasuk di antara cabang-cabang keimanan (syu’b ul iman); tidak sempurna keimanan seseorang kecuali ia menghias diri dengannya dan mengosongkan diri dari akhlak buruk. Oleh karena itu nilai-nilai dalam Alquran dinyatakan dengan akhlak; dengan segala akar katanya. Sedang dalam falsafah Islam diistilahkan dengan takwa. Takwa adalah sistem nilai atau akhlak Islam. Sistem takwa atau akhlak Islam itu mencakup semua nilai yang diperlukan manusia dalam keselamatan, kebahagiaan, dan kesempurnaan hidupnya di dunia dan di akhirat.

Ciri-ciri Akhlak dalam Ajaran Islam

Akhlak Islam pada prinsipnya adalah makna yang terpenting dalam hidup ini. Di dalam Alquran terdapat 1504 (seribu lima ratus empat) ayat yang berhubungan dengan akhlak, baik segi teori maupun segi praktis (Al Syaibany, 1979:313). Sebagian dari ayat-ayat tersebut telah tertuang dalam lima nilai-nilai akhlak di atas. Intisari dari hal ini tercantum dalam surat al Qalam, 68:4, yang menyatakan “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti (akhlak) yang agung” Oleh sebab itu ‘Aisyah r.a. seketika ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW. (yang dalam sebuah riwayat, jawaban istri Nabi itu diberikan setelah melalui proses dari Amirul Mukminin, kemudian Bilal, kemudian Aly, karena hal itu sangat sulit bagi orang untuk menggambarkan bagaimana akhlak Rasulullah itu) beliau menjawab “Akhlaknya adalah Alquran”. Kemudian beliau berkata: “Tidakkah engkau membaca: Innaka la’ala khuluqin ‘azhim”?.

Dalam hidup seseorang akan melalui tiga tahap masa sehubungan dengan peran dan fungsi manusianya, yaitu tahap tuntutan panggilan kewajiban yang dilakukan dalam hal ini sebagai anak, orang tua, guru dan seterusnya, tahap menyahuti/melaksanakan tuntutan tersebut, dan tahap hisab/penilaian terhadap pelaksanaan tuntutan tersebut. Abbas Mahmud Al Akkad dalam Asy Syaibany (1979), mengemukakan bahwa manusia tidak bertanggung jawab terhadap masalah yang tidak diketahuinya, tetapi ia akan bertanggung jawab terhadap yang
diketahui dan yang sanggup ia ketahui. Tidak ada sesuatu di alam ini (ghaib dan syahadah) yang disembunyikan seluruhnya dari pengetahuan manusia. Apa yang sanggup diketahuinya maka ia akan dihisab tentang itu. Pendapat ini didasari oleh firman Allah yang antara lain: (QS.al-Thur, [5]2.

Betapa indahnya wejangan ajaran dengan melarang kejelekan, yang semuanya kelak akan dipertangung jawabkan. akhlak Islam dalam ayat di atas, memerintahkan kebajikan yang di iringi dengan kesabaran.

Akhlak dalam ajaran Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan ini, yaitu sebagai landasan dalam penentuan keberhasilan seseorang dihadapan Allah, dan makhluk-Nya, dan sebagai landasan baginya untuk melaksanakan geraknya, dan sangat menentukan keberhasilannya dalam mencapai tujuan.
Akhlak itu bagaikan lautan tak bertepi, ia tak dapat dipisahkan dari dimensi yang satu dengan dimensi yang lainnya, dia harus sejalan antara pikiran, perbuatan dan perkataan, memerintahkan dengan meninggalkan, antara hubungan vertikal dengan horizontal, sederhana (antara berlebihan dengan berkurangan), realisme, sesuai kemampuan , istiqamah pada dasardasar dan prinsip-prinsip akhlak. Setiap manusia muslim wajib berakhlak Islami sesuai tuntunan Alquran.

Di tengahtengah kondisi yang diselimuti kekacauan akhlak ini, diharapkan setiap manusia mampu menjadi muslim sejati, mampu menjalankan hidupnya, senantiasa bertakwa kepada Allah di mana saja dan kapan saja serta dengan siapa saja. Tentunya dimulai dengan cara membiasakan dari diri sendiri dan keluarga dan seterusnya. Semoga kita selalu dalam bimbingan Allah dan mengikuti akhlak Rasul-Nya. Ya Allah! Engkau telah membaikkan kajadianku (Nabi saw.) maka baikkan pula akhlakku. (Allahumma hassanta khalqii fahassin khuluqii !)

Fitratul Akbar

Penulis adalah Alumni Prodi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan Post 2

نموذج الاتصال